Jumat, 20 November 2009

Gurindam

Gurindam Siswa XII IPA 2

Barang siapa yang banyak beriman
Maka hidupnya akan nyaman

Barang siapa suka berbohong
Maka dia akan ompong

Siapakah yang sering menabung
Pastilah dia akan beruntung

insan mana yang suka tertawa
niscaya hidupnya akan awet muda

orang yang pintar mencari ilmu
tentulah hidupnya akan maju

jika selalu pikirkan dunia
maka hidupnya akan sengsara

siswa sukalah bertawur-tawur
pastilah belajarnya jadi ngawur

jikalau kita rajin mengaji
maka hidupnya lebih terpuji (atik)

Lebih baik kita menahan diri
Daripada menyesal di kemudian hari (novia)

Barang siapa mengambil barang saya
Niscaya orang itu akan berdosa (novia)

manakala remidi biologi
maka esok hari akan lari (fany)

Barang siapa menjilat ludah sendiri,
niscaya jalan hidupnya penuh duri (atik)

Hari ini Desi terlihat ceria,
pastilah ia sedang bahagia.(khaefa)

Para pejabat suka korupsi,
tentulah negara akan merugi. (pepy)

Gurindam

Gurindam Asyik Produksi Siswa XII IPA 1

Jagalah hati jangan disakiti
Niscaya kita kaumnya nabi

Hidup itu penuh halangan
Maka hendaklah kita beriman

Dunia ini penuh pengorbanan
Maka hadapi dengan senyuman

Barang siapa yang menabung
Kelak pastilah beruntung

Barang siapa mudah bercinta
Maka ia mudah menderita


Alam ini penuh bahaya
Maka rajinlah berdoa

Hidup haruslah dijaga
Agar kita mendapat surga

Jika manusia tak kuat iman
Pastilah rentan gangguan setan

Menuntut ilmu hingga jauh
Pasti kelak tak akan keruh

Tuntut ilmu dengan semangat
Agar bahagia dunia akhirat

Kiamat sudahlah dekat
Marilah kita bertobat

Jika di atas lihatlah ke bawah
Jika ingin mendapat berkah

Selasa, 06 Oktober 2009

Esai

Amnesia Suatu Solusi

Salah satu keindahan karya sastra terletak pada konflik yang terjadi di dalamnya. Sebuah novel yang panjang dapat hidup karena konflik-konfliknya. Konflik atau masalah itu akan berjalan, berkembang, lantas memuncak pecah pada klimaks. Dalam perjalanan cerita, konfliklah yang membuat pembaca atau penonton tertarik untuk mengikuti cerita lebih lanjut. Pembaca bertanya-tanya bagaimana kelanjutan atau solusi dari konflik itu. Kreatifitas membuat konflik dan memperpanjangnya menjadi cerita yang menarik harus dimiliki oleh para penulis fiksi. Salah satu cara memperpanjang konflik adalah dengan memunculkan "amnesia" pada seorang tokoh.
Amnesia atau penyakit lupa rupanya benar-benar dijadikan materi yang dapat digunakan untuk memperpanjang konflik sebuah cerita. Misalnya, Dua orang tokoh yang hendak dipertemukan karena sudah lama tidak bertemu. Akan tetapi, salah satu tokoh terserang amnesia. Lantas, pertemuan mereka tidak membuahkan hasil. Konflik baru pun muncul.
Memperpanjang konflik dengan cara mengetengahkan "amnesia" banyak dijumpai pada sinetron di televisi swasta. Sebuah sinetron dapat menayangkan sampai beratus-ratus episode sampai-sampai konfliknya bercucu dan bercicit sehingga seolah-olah cerita konfliknya tiada akan berakhir. Penyiksaan terhadap tokoh protagonisnya begitu panjang. Karena tuntutan panjangnya episode, dibuat-buatlah sesuatu yang dapat memperpanjang konflik. Salah satu materi klasik adalah "amnesia". JIka Anda penulis fiksi, apakah Anda akan meniru gaya klasik itu?

Kamis, 03 September 2009

Pembelajaran


-->
Remedi dan Belajar Tuntas
  1. Latar Belakang
Dalam kegiatan pembelajaran termasuk pembelajaran mandiri selalu dijumpai adanya peserta didik yang mengalami kesulitan dalam mencapai standar kompetensi, kompetensi dasar dan penguasaan materi pembelajaran yang telah ditentukan. Secara garis besar kesulitan dimaksud dapat berupa kurangnya pengetahuan prasyarat, kesulitan memahami materi pembelajaran, maupun kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas latihan dan menyelesaikan soal-soal ulangan. Secara khusus, kesulitan yang dijumpai peserta didik dapat berupa tidak dikuasainya kompetensi dasar mata pelajaran tertentu, misalnya operasi bilangan dalam matematika; atau membaca dan menulis dalam pelajaran bahasa. Agar peserta didik dapat memecahkan kesulitan tersebut perlu adanya bantuan. Bantuan dimaksud berupa pemberian pembelajaran remedial atau perbaikan. Untuk keperluan pemberian pembelajaran remedial perlu dipilih strategi dan langkah-langkah yang tepat setelah terlebih dahulu diadakan diagnosis terhadap kesulitan belajar yang dialami peserta didik.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, satuan pendidikan perlu menyusun rencana sistematis pemberian pembelajaran remedial untuk membantu mengatasi kesulitan belajar peserta didik.

B. Tujuan
1. Memberikan layanan optimal kepada siswa melalui proses pembelajaran remedial.
2. Terlaksananya konsep belajar tuntas.

C. Konsep remedial
Pembelajaran remedial merupakan layanan pendidikan yang diberikan kepada peserta didik untuk memperbaiki prestasi belajarnya sehingga mencapai kriteria ketuntasan yang ditetapkan. Untuk memahami konsep penyelenggaraan model pembelajaran remedial, terlebih dahulu perlu diperhatikan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diberlakukan berdasarkan Permendiknas 22, 23, 24 Tahun 2006 dan Permendiknas No. 6 Tahun 2007 menerapkan sistem pembelajaran berbasis kompetensi, sistem belajar tuntas, dan sistem pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individual peserta didik. Sistem dimaksud ditandai dengan dirumuskannya secara jelas standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang harus dikuasai peserta didik. Penguasaan SK dan KD setiap peserta didik diukur menggunakan sistem penilaian acuan kriteria. Jika seorang peserta didik mencapai standar tertentu maka peserta didik dinyatakan telah mencapai ketuntasan.
Pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi dan pembelajaran tuntas, dimulai dari penilaian kemampuan awal peserta didik terhadap kompetensi atau materi yang akan dipelajari. Kemudian dilaksanakan pembelajaran menggunakan berbagai metode seperti ceramah, demonstrasi, pembelajaran kolaboratif/kooperatif, inkuiri, diskoveri, dsb. Melengkapi metode pembelajaran digunakan juga berbagai media seperti media audio, video, dan audiovisual dalam berbagai format, mulai dari kaset audio, slide, video, komputer, multimedia, dsb. Di tengah pelaksanaan pembelajaran atau pada saat kegiatan pembelajaran sedang berlangsung, diadakan penilaian proses menggunakan berbagai teknik dan instrumen dengan tujuan untuk mengetahui kemajuan belajar serta seberapa jauh penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang telah atau sedang dipelajari. Pada akhir program pembelajaran, diadakan penilaian yang lebih formal berupa ulangan harian. Ulangan harian dimaksudkan untuk menentukan tingkat pencapaian belajar peserta didik, apakah seorang peserta didik gagal atau berhasil mencapai tingkat penguasaan tertentu yang telah dirumuskan pada saat pembelajaran direncanakan.
Apabila dijumpai adanya peserta didik yang tidak mencapai penguasaan kompetensi yang telah ditentukan, maka muncul permasalahan mengenai apa yang harus dilakukan oleh pendidik. Salah satu tindakan yang diperlukan adalah pemberian program pembelajaran remedial atau perbaikan. Dengan kata lain, remedial diperlukan bagi peserta didik yang belum mencapai kemampuan minimal yang ditetapkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Pemberian program pembelajaran remedial didasarkan atas latar belakang bahwa pendidik perlu memperhatikan perbedaan individual peserta didik.
Dengan diberikannya pembelajaran remedial bagi peserta didik yang belum mencapai tingkat ketuntasan belajar, maka peserta didik ini memerlukan waktu lebih lama daripada mereka yang telah mencapai tingkat penguasaan. Mereka juga perlu menempuh penilaian kembali setelah mendapatkan program pembelajaran remedial.

D. Prinsip Pembelajaran Remedial
Pembelajaran remedial merupakan pemberian perlakuan khusus terhadap peserta didik yang mengalami hambatan dalam kegiatan belajarnya. Hambatan yang terjadi dapat berupa kurangnya pengetahuan dan keterampilan prasyarat atau lambat dalam mecapai kompetensi. Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran remedial sesuai dengan sifatnya sebagai pelayanan khusus antara lain:
1. Adaptif
Setiap peserta didik memiliki keunikan sendiri-sendiri. Oleh karena itu program pembelajaran remedial hendaknya memungkinkan peserta didik untuk belajar sesuai dengan kecepatan, kesempatan, dan gaya belajar masing-masing. Dengan kata lain, pembelajaran remedial harus mengakomodasi perbedaan individual peserta didik.
2. Interaktif
Pembelajaran remedial hendaknya memungkinkan peserta didik untuk secara intensif berinteraksi dengan pendidik dan sumber belajar yang tersedia. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kegiatan belajar peserta didik yang bersifat perbaikan perlu selalu mendapatkan monitoring dan pengawasan agar diketahui kemajuan belajarnya. Jika dijumpai adanya peserta didik yang mengalami kesulitan segera diberikan bantuan.
3. Fleksibilitas dalam Metode Pembelajaran dan Penilaian
Sejalan dengan sifat keunikan dan kesulitan belajar peserta didik yang berbeda-beda, maka dalam pembelajaran remedial perlu digunakan berbagai metode mengajar dan metode penilaian yang sesuai dengan karakteristik peserta didik.
4. Pemberian Umpan Balik Sesegera Mungkin
Umpan balik berupa informasi yang diberikan kepada peserta didik mengenai kemajuan belajarnya perlu diberikan sesegera mungkin. Umpan balik dapat bersifat korektif maupun konfirmatif. Dengan sesegera mungkin memberikan umpan balik dapat dihindari kekeliruan belajar yang berlarut-larut yang dialami peserta didik.
5. Kesinambungan dan Ketersediaan dalam Pemberian Pelayanan
Program pembelajaran reguler dengan pembelajaran remedial merupakan satu kesatuan, dengan demikian program pembelajaran reguler dengan remedial harus berkesinambungan dan programnya selalu tersedia agar setiap saat peserta didik dapat mengaksesnya sesuai dengan kesempatan masing-masing.

F. Bentuk Kegiatan Remedial
Dengan memperhatikan pengertian dan prinsip pembelajaran remedial tersebut, maka pembelajaran remedial dapat diselenggarakan dengan berbagai kegiatan antara lain:
1. Memberikan tambahan penjelasan atau contoh
Peserta didik kadang-kadang mengalami kesulitan memahami penyampaian materi pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang disajikan hanya sekali, apalagi kurang ilustrasi dan contoh. Pemberian tambahan ilustrasi, contoh dan bukan contoh untuk pembelajaran konsep misalnya akan membantu pembentukan konsep pada diri peserta didik.
2. Menggunakan strategi pembelajaran yang berbeda dengan sebelumnya
Penggunaan alternatif berbagai strategi pembelajaran akan memungkinkan peserta didik dapat mengatasi masalah pembelajaran yang dihadapi.
3. Mengkaji ulang pembelajaran yang lalu.
Penerapan prinsip pengulangan dalam pembelajaran akan membantu peserta didik menangkap pesan pembelajaran. Pengulangan dapat dilakukan dengan menggunakan metode dan media yang sama atau metode dan media yang berbeda.
4. Menggunakan berbagai jenis media
Penggunaan berbagai jenis media dapat menarik perhatian peserta didik. Perhatian memegang peranan penting dalam proses pembelajaran. Semakin memperhatikan, hasil belajar akan lebih baik. Namun peserta didik seringkali mengalami kesulitan untuk memperhatikan atau berkonsentrasi dalam waktu yang lama. Agar perhatian peserta didik terkonsentrasi pada materi pelajaran perlu digunakan berbagai media untuk mengendalikan perhatian peserta didik.


G. Pelaksanaan
Terdapat beberapa alternatif berkenaan dengan waktu atau kapan pembelajaran remedial dilaksanakan. Pertanyaan yang timbul, apakah pembelajaran remedial diberikan pada setiap akhir ulangan harian, mingguan, akhir bulan, tengah semester, atau akhir semester. Ataukah pembelajaran remedial itu diberikan setelah peserta didik mempelajari SK atau KD tertentu? Pembelajaran remedial dapat diberikan setelah peserta didik mempelajari KD tertentu. Namun karena dalam setiap SK terdapat beberapa KD, maka terlalu sulit bagi pendidik untuk melaksanakan pembelajaran remedial setiap selesai mempelajari KD tertentu. Mengingat indikator keberhasilan belajar peserta didik adalah tingkat ketuntasan dalam mencapai SK yang terdiri dari beberapa KD, maka pembelajaran remedial dapat juga diberikan setelah peserta didik menempuh tes SK yang terdiri dari beberapa KD. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa SK merupakan satu kebulatan kemampuan yang terdiri dari beberapa KD. Mereka yang belum mencapai penguasaan SK tertentu perlu mengikuti program pembelajaran remedial. Waktu penyelenggaraan remedial adalah sore hari di luar jam tatap muka.

Esai


-->
Menciptakan Sportifitas Pelajar melalui Perencanaan
Setiap guru pasti menginginkan peserta didiknya sportif, tidak main curang, dan penuh percaya diri pada saat evaluasi. Namun, kenyataannya banyak siswa tidak sportif saat kegiatan evaluasi dilaksanakan. Mereka melakukan hal-hal yang tercela, seperti: mencontek jawaban teman, membuka-buka buku, membaca contekan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Sepandai-pandainya guru mengawasi, masih lebih pandai peserta didik untuk berbuat curang.
Masalah di atas merupakan fenomena yang terjadi di dunia pendidikan kita, mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Sepintas tampak sepele kelihatannya. Namun, kalau ditelusuri dampaknya sungguh luar biasa. Siswa yang biasa berbuat curang dengan cara mencontek akan berdampak dalam kehidupan sehari-hari. Ia cenderung menghalalkan segala cara demi memenuhi satu tujuan. Di samping itu, siswa yang biasa tidak sportif ini, sulit untuk mandiri dan cenderung kehilangan rasa percaya diri. Tidak berlebihan jika seorang pengamat politik dan anggota ICW mengatakan bahwa korupsi yang dilakukan oleh birokrat sudah diawali saat mereka menjadi pelajar, yaitu kebiasaan mencontek saat ulangan. Kalau 20 % saja dari jumlah pelajar tingkat dasar dan mahasiswa mempunyai kebiasaan mencontek, bagaimana jadinya negeri ini? Koruptor semakin banyak. Rakyat kehilangan inisiatif, percaya diri hilang, negara kita selalu menjadi plagiat. Sungguh mengerikan!
Berdasarkan fenomena di atas, kiranya tidak berlebihan jika kecurangan-kecurangan pelajar dan mahasiswa saat evaluasi dikategorikan perbuatan kriminal, yakni kriminal di dunia pendidikan. Hanya saja, kriminal ini dampaknya dapat dirasakan setelah sekian lama, tidak langsung.
Kekhawatiran seperti diuraikan di atas dapat dihindari atau paling tidak diminimalisasi. Upaya-upaya apa saja yang dapat ditempuh oleh dunia pendidikan kita untuk menciptakan manusia-manusia yang sportif dan jujur? Dengan pengawasan yang ketat saja tidaklah cukup.
Upaya-upaya menciptakan sportifitas
Sebelum menjabarkan upaya-upaya yang dapat ditempuh untuk menghindari kecurangan dan tidak sportif di kalangan pelajar dan mahasiswa ini, penulis ingin menyampaikan bahwa permasalahan ini penyebabnya sangat kompleks, bahkan sampai kepada sistem di dunia pendidikan Indonesia. Oleh karena itu, berbagai sudut perlu dijelaskan. Upaya-upaya menciptakan sportifitas itu ialah:
1. Menciptakan kurikulum yang berorientasi pada kompetensi dan skill
Kurikulum merupakan kunci keberhasilan pendidikan di suatu negara. Kurikulum yang berorientasi pada kompetensi dapat menciptakan manusia-manusia yang mampu memecahkan masalah, mandiri, dan terampil mengaplikasikan ilmu dalam rangka memenuhi hidupnya. Kurikulum ini juga mampu menciptakan manusia-manusia yang memiliki kecakapan hidup. Untuk hal ini, kita sudah punya kurikulum yang demikian, yaitu kurikulum 2006 atau KTSP. Hanya saja penjabaran di masing-masing tingkat satuan pendidikan harus betul-betul diorientasikan pada kompetensi, keterampilan, dan aplikasi. Dengan kurikulum ini, siswa tidak dibebani materi-materi yang bersifat kognitif semata.
Kurikulum yang berorientasi pada materi atau kognitif hanya menciptakan manusia-manusia pembeo dan penghafal. Bila suatu saat mereka menemukan masalah, mereka tidak dapat memecahkannya karena di memori hafalannya tidak tercantum. Seseorang yang tidak memiliki daya hafal yang bagus saat evaluasi cenderung berbuat curang, seperti: membuat contekan, mencontoh jawaban teman, dan spekulasi. Akan tetapi, dengan kurikulum yang berorientasi pada kompetensi hal itu tidak akan terjadi.
2. Mengubah paradigma dan cara mengajar guru
Guru tradisional biasanya dalam mengajar selalu berorientasi pada materi walaupun kurikulumnya berorientasi pada kompetensi. Guru tradisional adalah aktor utama di kelas, ia merasa dirinya adalah orang paling pandai di kelas. Ia berfungsi sebagai penyalur ilmu pengetahuan yang handal. Namun, semua itu hanya menciptakan siswa-siswa penghafal.
Kurikulum yang baik harus didukung pula oleh para guru. Dukungan itu berupa penyesuaian paradigma dan cara mengajar. Guru harus mengubah paradigma lama. Ia bukanlah aktor utama tetapi sutradara yang lihai. Sebagai sutradara, ia dituntut kreatif untuk menciptakan situasi belajar. Selain sebagai sutradara, ia adalah motivator dan fasilitator.
Cara mengajar guru harus berubah. Pada saat kurikulumnya berorientasi pada materi, guru mendominasi KBM dengan metode ceramahnya. Akan tetapi, ketika kurikulumnya berorientasi pada kompetensi, mestinya ia memfokuskan pencapaian kompetensi siswa. Kemampuan apakah yang sudah dimiliki oleh seorang siswa kaitannya dengan sebuah materi itu? Untuk ke arah itu guru perlu membimbing ke arah pencapaian kompetensi.
Salah satu cara untuk mempermudah pencapaian kompetensi bagi siswa ialah dengan metode kontekstual. Kontekstual adalah suatu metode penciptaan alam nyata dalam KBM. Kelas diatur sedemikian rupa seperti di alam nyata. Contohnya dalam pengajaran demokrasi. Untuk mengajarkan demokrasi, guru perlu menciptakan kegiatan-kegiatan demokrasi praktis di kelas, seperti: mengadakan musyawarah, rapat, atau pemilihan kepala desa. Jadi, bukan teori-teori atau pengetahuan tentang demokrasi saja.
3. Menyusun alat evaluasi yang mengukur kompetensi siswa
Alat evaluasi berupa soal-soal sangat menentukan siswa itu sportif atau tidak. Soal-soal yang bersifat hafalah (kognitif) cenderung menyebabkan siswa tidak kreatif dan terkekang. Oleh karena itu, mereka yang daya hafalnya terbatas, cenderung akan bermain curang. Bentuk-bentuk kecurangannya antara lain: membuat contekan dan membukanya, mencontek pekerjaan teman, dan bekerja sama dengan teman.
Sebaliknya, soal-soal yang mengukur kompetensi sangat menampung kreatifitas siswa sehingga siswa tidak terkekang dengan hafalannya. Ia cenderung bebas tapi kreatif.
Contoh
  1. Jelaskan apa yang dimaksud kalimat majemuk bertingkat itu? (berorientasi materi)
  2. Buatlah sebuah kalimat majemuk bertingkat dengan anak kalimat menyatakan hubungan pengandaian! (berorientasi kompetensi)
4. Mengubah paradigma siswa tentang KBM
Paradigma lama tentang KBM bagi siswa ialah siswa duduk dengan manis, mendengarkan penjelasan guru, mencatat, lalu mempelajarainya di rumah. Paradigma ini menanamkan prinsip pada siswa mengenai perolehan kemampuan saat KBM “Apa yang bisa saya catat dari sesorang guru, apa yang diberikan oleh guru”. Mestinya tidak demikian, siswa harus aktif, kreatif, dan inovatif. Biasakan siswa berprinsip saat KBM “apa yang bisa saya perbuat dengan materi itu, apa manfaatnya bagi kehidupan, bagaimana cara mengaplikasikannya.”
Penulis meyakini bahwa paradigma seperti diilustrasikan di atas masih membelenggu para pelajar kita. Mereka dari rumah ingin mendapat catatan yang banyak supaya menjelang ulangan bisa membacanya, lalu mendapat angka ulangan yang memuaskan. Setelah mendapat angka bagus, mereka tidak dapat apa-apa, kecuali angka itu sendiri. Mungkin angka-angka itulah yang akan menemani hidupnya, menjawab tantangan kehidupan yang terus merumit. Apakah itu ilmu pengetahuan?
Ditulis Sept. 2008

Esai

Indonesia Menantang

Reformasi telah digulirkan dengan sangat berat dengan jalan yang terseok-seok. Ibarat suatu kelahiran adalah kelahiran yang prematur. Sungguh reformasi telah lahir prematur dan bayinya pun tidak sehat, sakit-sakitan, bahkan tidak ada tanda-tanda berkembang. Bayi yang bernama reformasi ini justru jalan di tempat. Banyak tantangan dari keluarga dan tetangga. Kelahilan reformasi tidak diharapkan oleh anggota keluarga yang lain, terutama kakak-kakaknya. Reformasi hanya didukung oleh sedikit adik-adik yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari.Reformasi Indonesia telah hambar. Reformasi Indonesia telah menguap. Banyak penentang reformasi, sedikit pendukung. Apalagi tetangga jauhnya selalu mengintai, memata-matai, mendustai, bermulut manis. Di depan seolah teman yang selalu mendukung, tetapi di belakang dengan berbagai cara kekuatannya yang otoriter berusaha mematikan, membunuh, menghancurkan, dan mencerai-beraikan INDONESIA tanpa ampun.

Mulai era tahun 2000-an bangsa Indonesia mulai bertingkah aneh. Di saat reformis mulai berjalan, justru muncul kejadian-kejadian yang menantang dan ditonjolkan di depan mata kita. Para penantang reformasi seperti tikus yang hendak diracun. Ketika racun telah digelar, mereka malah berbondong-bondong mencuri nasi dan lain-lain dari dapur sehingga bukan racun yang dikunyah, melainkan makanan-makanan lezat yang disantap. Ini merupakan analog dari kejadian-kejadian pemberantasan korupsi. Ketika Teten Mazduki dan kawan-kawan melawan koruptor, malah para koruptor semakin banyak mencuri dan jumlahnya semakin banyak, “Masya Allah”. Lebih menggila mereka karena tidak secara sembunyi-sembunyi, tetapi secara kasat mata. Korupsi hampir menjadi kegiatan yang meimbulkan kecemburuan. Orang yang tidak melakukan korupsi lalu cemburu dan ia ingin melakukan. Akhirnya, hampir semua lini dipenuhi kejadian korupsi. Pejabat, penegak hukum, pelaksana hukum tergiur untuk korupsi karena cemburu. Kecemburuan juga terjadi pada rakyat kelas bawah. Perhatian saja saat pilihan kepala desa misalnya, “wong ndeso” ini enggan mencoblos kalau tidak dikasih uang atau nasi dari calon atau panitia. Wabah korupsi, kolusi, dan nepotisme telah menjamur sampai masyarakat lini bawah. Gaya korupsi yang sedang klimaks adalah korupsi kolektif atau korupsi rombongan yang dilakukan legislatif. Belum korupsi yang dilakukan lintas departemen yang semua membentuk mata rantai yang sulit dirunut. Anehnya lagi, korupsi kok terjadi di legislatif. Banyak anggota legislatif tidak tahu dan tidak sadar telah melakukan korupsi. Konon, siapa ujungnya dan siapa pangkalnya tida jelas, susah diteropong dengan mata. Suatu saat tiba-tiba anggota legislatif dikejutkan dengan pemberian amplop yang tidak jelas sumbernya. Yang tahu sumbernya hanya beberapa orang saja, tapi mereka bungkam dan menguburnya dalam-dalam. Amplop-amplop yang bertebaran di ruang legislatif seperti turun dari langit begitu saja. Sebenarnya, itu uang-uang hasil korupsi atau kejahatan yang digunakan untuk tutup mulut para anggota legislatif. Kalau begitu, mereka tanpa sadar mulutnya telah disumpal oleh siluman-siluman berhati bejat.

Keanehan berikutnya terjadi pada rakyat jelata, rakyat pecinta hal-hal seronok. Aneh, ketika sekelompok orang peduli moral dan sosial menantang pornografi dan pornoaksi, semakin marak pornoaksi di sekitar kita. Lihat saja pemberitaan kasus-kasus tentang goyang dangdut, betapa maraknya. Pasca pengesahan UU Pornografi dan Pornoaksi, kegiatan yang berbau porno bukannya reda atau berkurang, melainkan semakin merajalela, meningkat, dan celakanya lagi semakin berani. Lihat kasus di panggung organ tunggal di Ternate, Cirebon, dan lain-lain. Kenjludrahan penyanyi dangdut amatiran sudah tidak bisa ditoleransi, karena mereka bersaru ria di depan mata anak-anak di bawah umur. Itu semua hanya demi saweran.

Kasus goyang erotis di depan publik disponsori oleh Inul Daratista. Saat itu keanehan pun terjadi. Di saat goyang yang bikin heboh itu dtentang oleh sejumlah orang mulia, seorang kyai memimpin untuk mendukung keerotisan di mata umum. Kalau yang mendukung itu orang-orang abangan dapat dimaklumi mereka, tetapi kali ini yang mendukung adalah seorang Romo Kyai panutan se-Jawa. Aneh kan! Di mana pertimbangan akhiratnya. Sekulerkah kita?

Keanehan berikutnya, ketika pemerintah baru sadar untuk menyatukan umat yang berbeda-beda keyakinan, perang lintas agama terjadi, muncul aliran-aliran sesat. Zaman sudah sore begini ada orang yang berikrar bahwa dirinya nabi penerus Muhammad. Edan kan zaman ini?
Ditulis tgl 10 Agustus 2008

Esai


-->
Lo Ama Gue Juga Bahasaku
Pengajaran bahasa Indonesia bertujuan melestarikan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang dimaksud adalah bahasa Indonesia yang berbagai ragam itu. Dalam perjalanannya ternyata terjadi salah tafsir. Para siswa menafsirkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa ragam baku yang kaku dan banyak persyaratan. Padahal, kenyataan bukan hanya itu.
Bahasa Indonesia kaya akan ragam. Karena keanekaragaman inilah tercipta falsafah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar. Akan tetapi, dengan falsafah ini pun masih banyak penutur bahasa – termasuk siswa sekolah- salah menafsirkan. Lagi-lagi falsafah ini diterjemahkan menjadi bahasa baku. Dari beberapa studi tentang Apa itu bahasa Indonesia yang baik dan benar? Jawabnya adalah bahasa Indonesia yang baku.
Bahasa Indonesia baku merupakan bagian dari bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seseorang harus tahu kapan ia harus berbahasa baku dan kapan pula ia tidak harus menggunakannya. Bila penutur bahasa sudah bisa berpikir dan bertindak seperti ini, falsafah bahasa Indonesia yang baik dan benar sudah dapat diresapi oleh mereka.
Pemahaman bahasa Indonesia yang baik dan benar memperluas wawasan kebahasaan penutur. Dengan pemahaman yang mendalam, para penutur bahasa akan menerima lo ama gue sebagai kekayaan bahasa. Juga, tuturan-tuturan remaja di berbagai sinetron tidak dikatakan merusak bahasa. Justru, memperkaya bahasa Indonesia.

Senin, 04 Mei 2009

Esai

Membeli Jabatan

Menjadi pemimpin adalah menjadi orang yang siap berlaku adil, amanah, dan teladan. Menjadi pemimpin pada era sekarang sangatlah berat. Seorang pemimpin yang pandai, cakap, dapat menjadi teladan, kadang tidak dirasa cukup oleh masyarakat. Sebaliknya, ada orang yang kurang cakap, pola hidupnya kurang bisa diteladani, dianggap bagus untuk pemimpin. Masyarakat kita menjadi susah ditebak apa maunya.

Pemimpin adalah amanah. Oleh karena itu, dalam suksesinya harus dipertimbangkan kadar keamanahannya. Namun, kenyataannya banyak calon pemimpin yang tidak bisa mengoreksi diri, apakah dirinya pantas menjadi pemimpin atau tidak. Bahkan, orang-orang yang berduit dapat dengan mudah menentukan dirinya pantas memimpin. Faktor pertimbangannya adalah uang. Padahal, bila seseorang ingin menjadi pemimpin lantas mereka menggunakan kekayaannya untuk mewujudkan keinginannya itu, sama saja mereka membeli jabatan. Contoh konkret dari kasus ini adalah "caleg". Banyak caleg yang karena kekayaannya menganggap dirinya pantas untuk duduk di lembaga legislatif.

Jabatan tidak dapat dibeli, karena setan akan selalu mengikuti dalam jabatan itu. Kelak, jabatan yang diperoleh dengan cara "beli" akan selalu menimbulkan masalah, tidak saja bagi dirinya, tetapi bagi umat. Seyogyanya, promosi jabatan atau proses apa saja yang dapat mencetak pemimpin atau pejabat dibuat oleh orang atau lembaga yang amanah. Bila demikian, insyaallah akan tercetak pemimpin dan pejabat yang amanah yang dapat menjalankan tugas tanpa diiringi setan.

Minggu, 03 Mei 2009

Esai

Sekolah Gratis, Enak Ya

Tahun 2009 ini pemerintah betul-betul mewujudkan sekolah gratis untuk SD dan SMP negeri. Tentunya tekad ini disambut gembira oleh masyarakat. Pelaksanaan program ini sebagai konsekuensi program wajar dikdas 9 tahun. Iklan sekolah gratis sudah diputar setiap menit, masyarakat pun sudah mengetahuinya. Di balik ini semua ada ketakutan di kalangan yayasan pengelola sekolah swasta, baik SD maupun SMP. Mereka miris dengan masa depan, jangan-jangan sekolah swasta akan gulung tikar. Bagaimana mensikapinya?

Pertama, sebenarnya sekolah gratis untuk SD dan SMP negeri justru nilai plus untuk sekolah swasta. Sekolah swasta diberi kesempatan seluas-luasnya untuk meningkatkan diri dengan cara berkompetisi kualitas dengan sekolah negeri. Masyarakat kita sudah berorientasi pada kualitas. Jadi, sekolah mana yang berkualitas itulah yang dipilih, walaupun mereka harus membayar. Saat ini masyarakat kita sudah berpikir realistis. Mereka berparadigma "mutu tidak gratis". Paradigma inilah yang membuka potensi sekolah swasta untuk mengembangkan diri. Eksistensi dan kualitas sekolah swasta menjadi perhitungan tersendiri bagi masyarakat. Banyak sekolah swasta menjadi incaran masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya. Pertimbangannya sederhana, yaitu kualitas. 

Kedua, sekolah negeri harus tetap mempertimbangkan kualitas. Mestinya pemikiran "yang pintar gratis, yang bodoh bayar" mulai direnungkan oleh masyarakat dan institusi pendidikan kita, kalau mau peningkatan mutu pendidikan Indonesia signifikan. Sekolah gratis tidak ada artinya kalau output-nya masih rendah atau masih berpikir yang "penting bisa sekolah". Jangan sampai program sekolah gratis justru menjadi bumerang bagi pemerintah di saat sedang meningkatkan mutu pendidikan. 

Ketiga, sekolah gratis yang tidak menyeluruh dapat melahirkan pola pikir masyarakat modern tentang gengsi dan prestise. Jika anaknya pandai mengapa ia menyekolahkan di sekolah gratis, gengsi dong! Cari saja sekolah swasta yang bonafit. Kalau seperti ini, dimungkinkan ada paradigma sekolah gratis hanya untuk mereka yang tidak mampu dan bodoh. Apakah sekolah gratis bermaksud seperti itu? Bisa "ya" bisa "tidak", itulah jawabnya.

Rabu, 22 April 2009

Esai

Kartini Telah Diperalat

Tanggal 21 April adalah tanggal untuk melihat perempuan, karena tanggal ini telah ditetapkan sebagai tanggal peringatan Kartini. Kartini adalah perempuan yang hebat di antara segala perempuan saat itu. dia tidak saja cerdas, tetapi juga punya komitmen terhadap perempuan itu sendiri. Prinsip-prinsip tentang perempuan sangatlah sederhana, tetapi tidak murahan, juga tidak over. Keberadaan Kartini bukanlah suatu kebetulan saja. Konsep dan paradigma Kartini saat itu sungguh spektakuler. Itulah barangkali, Kartini menjadi cerminan perempuan bangsa Indonesia.

Beberapa tahun belakangan ini, nama Kartini telah dicatut demi nafsu dan keserakahan perempuan. Penuntutan kesamaan hak perempuan dengan laki-laki yang kelewat batas telah menciptakan "kartini yang kekartonoan". Kartini versi baru telah lahir, yakni Kartini yang berani menghardik lelaki, Kartini yang tidak punya prinsip, Kartini yang justru melecehkan perempuan itu sendiri, dan yang paling menakutkan adalah Kartini yang melawan kodrat.

Kartini telah dieksploitasi oleh perempuan. Kartini telah diperalat oleh perempuan. Berdalih kartini demi memenuhi egonya, demi nafsunya, dan demi iblis yang bersemayam di tubuh perempuan. Kartini kini telah terkoyak dan bias. Sungguh kasihan Kartini yang telah membukakan kran kemerdekaan bagi perempuan. Sungguh kasihan Kartiniku, engkau telah diperalat.

Esai

UN Sebuah Penggeneralisasian Kompetensi

Ujian Nasional dilaksanakan tiap tahun dengan pola yang sama. Yang dimaksud pola yang sama, yakni jenis soal untuk tingkat sekolah tertentu selalu seragam. Begitu pula, standar kelulusan pun sama untuk jenjang pendidikan tertentu. Contoh, soal tingkat SMA, baik negeri - swasta; sekolah kota - sekolah pinggiran; sekolah favorit - sekolah nonfavorit, sama saja. Demikian pula, standar kelulusannya sama, yakni 5,5. Akibtanya, pro dan kontra tentang hal itu pun selalu bermunculan. Puas dan tidak puas pun selalu terlontar.

Kalau diperhatikan, memang soal dan standar kelulusan sudah dibuat rerata dari kelompok sekolah di atas. Akan tetapi, kalau dipetakan satu per satu, terasa tidak adil. Sekolah favorit atau unggulan akan merasa sangat ringan jika hanya mencapai standar tersebut, sedangkan sekolah pinggiran atau "sekolah saringan" akan sangat kerepotan untuk mencapai standar tersebut. Titik temu standar kelulusan itu dirasa tidaklah adil, karena tidak mengukur, tidak menempatkan sesuatu sesuai porsinya seperti prinsip keadilan. Soal dan standar kelulusan adalah sebuah hasil penggeneralisasian pendidikan.

Lalu, apa solusi yang ditawarkan? Ditawarkan tidak harus dibeli, tapi harus ditawar lagi. Pertama, alangkah indahnya kalau diadakan pemetaan sekolah dalam rangka untuk menentukan kelompok sekolah. Misalnya, sekolah kategori sangat baik, baik, sedang, dan kurang, atau tipe A, B, C, dan D. Kedua, ada soal UN dan standar kelulusan untuk masing-masing tipe sekolah. Berdasarkan hasil UN tersebut, sekolah-sekolah ini dapat naik tipe atau turun tipe. Dengan demikian, mereka akan berkompetisi dengan cantik tanpa rasa tertekan. Kalau masih digeneralisasikan seperti sekarang, pasti ada perasaan yang berbeda, yakni rasa "enteng" dan "berat".

Minggu, 22 Maret 2009

Esai

Generasi Posmomotor

Perkembangan iptek pada kendaraan telah melahirkan mode-mode kendaraan yang semakin cantik. Setiap tahun selalu muncul mode terbaru di dunia kendaraan, entah roda dua atau pun roda empat. Begitu cepatnya kecanggihan mode berubah. Sepeda motor produksi 2008 sudah tidak canggih lagi, karena mode motor terbaru sudah diproduksi. Demikian pula, mode terbaru ini akan hengkang dalam sekejap mata karena sudah ada mode yang lain yang siap diluncurkan. Begitulah, mode selalu berganti. Frekuensi perubahan mode yang cepat ini justru telah melahirkan generasi yang tidak puas dengan mode mana pun. Banyak remaja yang entah karena apa merasa tidak puas dengan mode motor keluaran pabrik, lantas mereka memodifikasinya. Padahal, sepeda motornya keluaran terbaru yang jelas modenya terbaru juga. Langkah memodifikasi motor ini banyak latar belakangnya, yang utama adalah si pemilik ingin motornya terlihat nyentrik, lain dengan yang lain. Untuk mencurahkan ekspresinya pada kendaraan, kadang seseorang menjadi tidak bernalar. Contohnya, tinggi kendaraan yang sudah diprogram sedemikian rupa harus disimpangkan dengan cara mengganti roda yang ukuran lebih kecil sehingga motor tampak ndeprok. Lantas, ketika dipakai di jalan yang terdapat tanggul (polisi tidur), harus digotong. Ini salah satu contoh modifikasi yang keluar dari nalar. Ilustrasi di atas merupakan salah satu gejala posmo. Terlepas dari apakah penentangannya terhadap mode menjadi lebih baik, maupun menjadi tidak baik dan mengesampingkan sisi logika.

Ketidakpuasan terhadap sesuatu yang sudah mapan ini memang kadang melahirkan sesuatu yang jauh dari logika. Modifikan lebih mempertimbangkan kepada unsur seni dan estetika semata. Unsur yang primer kadang ditinggalkan. Motor menjadi tidak bermanfaat setelah dimodifikasi. Barang ini hanya layak menjadi tontonan yang mestinya hanya dipajang di etalase saja.

Perpaduan unsur estetika dan fungsi primer dari kendaraan mestinya menjadi petimbangan dalam memodifikasi, sehingga tujuan semula dari pabrik dapat tetap terlaksana. Anehnya, ketika pabrik pun mencoba mencipta kendaraan yang mengikuti selera modifikan, tidaklah populer, tidak laku. Selera modifikan memang unik, tak bisa direkam begitu saja lantas ditiru oleh pabrikan.

Gejala posmomotor ini telah melahirkan seniman-seniman bengkel yang berpikir dua kali lipat dari perancang-perancang di pabrikan. Perancang motor pabrikan mempertimbangkan sedikit estetika, tetapi melebihkan fungsi primernya. Sedangkan, modifikan mendominasi pertimbangannya pada estetika, sehingga kadang unsur primer terlupakan. Mestinya, modifikan harus lebih ektra mempertimbangkan keduanya.

Esai

Generasi Posmomotor

Waktu terasa begitu menyebalkan ketika saya sedang menunggu isteri berbelanja di pasar. Daripada bengong, di tempat parkir yang berada di tepi jalan, saya perhatikan setiap pengendara dan pengemudi yang lewat. Barangkali saja, ada wajah yang saya kenal sedang melintas. Asyik juga kesibukan itu. Dari pengamatan tak terprogram itu, saya mendapatkan sesuatu yang cukup mengesankan. Apakah itu?

Selama setengah jam memperhatikan pengendara yang melintas di depan pasar, saya terbayang tayangan televisi tentang kesibukan masyarakat di Tokyo. Begitu sibuknya pengendara sepeda motor di kota saya. Sambil mengendara, banyak di antara mereka ber-SMS di ponselnya. Mata, perhatian, konsentrasinya di bagi dua. Di satu sisi harus menyetir kendaraan, di sisi yang lain mengetik SMS. Seolah tak menghiraukan hiruk pikuknya jalanan. Jangankan peduli sekeliling, keselamatan diri saja barangkali tak terpikirkan. Mereka seperti terhipnotis oleh SMS yang masuk, lantas harus dijawabnya seketika itu. Sayang, saya tidak mencatat berapa pengendara yang seperti itu dari sekian pengendara yang melintas saat itu. Yang jelas saya hanya bergeneralisasi bahwa pengendara yang "sibuk" itu cukup banyak. Fenomena ini tidak hanya terjadi di temnpat itu pada saat itu. Ternyata, setiap kali saya berkendara, saya selalu menjumpai "makhluk sibuk" seperti itu. Pemandangan tentang pengendara "sibuk" itu mengingatkan saya kepada tayangan televisi di Tokyo tadi.

Multitasking sudah mewabah di masyarakat kita. Multitasking bukan tanpa risiko. Kalau kedua aktifitas dapat dijalankan dengan baik, barangkali multitasking dapat berakhir dengan sukses. Akan tetapi, perlu dipikirkan dampak bagi pihak lain. Risiko kecelakaan ketika berkendara sambil SMS tidak terjadi, tetapi pengendara lain mungkin merasa terganggu kenyamanannya karena "pengendara sibuk" tidak berjalan dengan sempurna, terlalu ke tengah dan terlalu lambat. Susah untuk didahului. Itulah risiko sampingannya. Tidak terjadi pada pelaku, tetapi pada korban.

Orang hebat di tengah jalan itu tidak saja remaja, dijumpai pula orang-orang tua yang mestinya sudah banyak pertimbangan. Korban akibat "merasa hebat" itu sebenarnya sudah cukup banyak. Multitasking telah dibayar dengan raga dan nyawa. Akan tetapi, pemandangan tentang pengendara yang melakukan multitasking selalu saja ada. Barangkali mereka merasa tak ada waktu lagi. Padahal, kalau mau berpikir positif tidak melakukan atau menunda membalas SMS saat berkendara tidak akan merugikan sedikit pun. Berentilah sejenak dan luangkan waktu untuk membaca dan membalas SMS, baru melanjutkan perjalanan. Lima menit sangat berarti untuk memproteksi diri dari ancaman maut. Renungkanlah.

Senin, 16 Maret 2009

Esai

Nikah Siri, Cara Nikah Jadul

Istilah nikah siri sebenarnya muncul setelah pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Tanggal 2 Januari 2974 adalah penetapan berlakunya undang-undang tersebut. Setelah diberlakukannya undang-undang tersebut, istilah nikah siri mulai populer.
Orang tua kita yang menikah sebelum adanya undang-undang tersebut, riwayat pernikahannya tidak terdokumentasi atau tidak tercatat di Kantor Urusan Agama. Secara agamis pernikahan itu sudah memenuhi persayaratan. Mereka menikah sesuai syarat rukunnya, yaitu di bawah penghulu atau kyai, ada wali, ada saksi, ada mas kawin, dan (mungkin) dicatat oleh penghulu atau kyai tersebut. Namun, satu hal yang belum dilakukan saat itu, yaitu melaporkan dan mendokumentasikan. Wajarlah apabila orang-orang jadul tidak mempunyai surat kawin. Mereka kalau dimintai bukti pernikahan tidak dapat menunjukkannya. Secara de facto sudah menikah, tetapi de yure tidak dapat dipenuhi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah siri adalah pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama. Menghubungkan makna nikah siri dengan keadaan nikah jaman sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diterbitkan, kiranya tidaklah berlebihan jika saya mengansumsikan bahwa nikah siri identik dengan nikah jadul, yaitu sebelum ada undang-undang perkawinan. Otomatis ketika ada seseorang yang menikah dengan tidak sesuai pasal 2 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974, diidentifikasikanlah sebagai nikah siri. Bedanya, adalah dicatat atau tidak di Kantor Urusan Agama. Kalau sebuah pernikahan sampai dicatat di Kantor Urusan Agama, pernikahanannya tidak dogolongkan ke nikah siri. Sebaliknya, sebuah pernikahan tidak sampai terekam oleh Kantor Urusan Agama, pelaku nikah digolongkan melakukan nikah siri.

Zaman sekarang nikah siri biasanya dilakukan karena keterpaksaan oleh keadaan yang tidak beres, tetapi mengejar target terlepas dari koridor perzinaan. Pelaku nikah siri merasa lega karena istilah zina tidak akan menghantui lagi. Satu pokok pertimbangan itulah yang kadang menutup pertimbangan-pertimbangan yang lain. Seandainya dua makhluk yang akan melangsungkan pernikahan itu beres, pastilah mereka akan menempuh nikah yang sesuai UU.

Sebenarnya, di balik nikah siri ada ancaman bagi perempuan. Kalau perempuan mau berpikir jernih dan berorientasi ke depan, pastilah dia tidak mau diajak nikah siri oleh pasangannya. Ini dikarenakan tidak saja kehilangan hak-haknya sebagai seorang isteri, tetapi juga dianggap sebagai gundik atau simpanan oleh masyarakat. Hanya saja, nasibnya lebih sedikit mujur dari gundik. Ancaman lain, awas suatu saat "habis manis sepah dibuang". Sekarang, nikah siri tidaklah lazim.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diimplementasikan sebagai sebuah pencerah, sebagai tanda bangsa yang beradab, sebagai pengayom derajat perempuan, pengendali untuk kaum laki-laki agar menghargai perempuan sebagai mitra.

Kamis, 12 Maret 2009

Esai

Memilih Legislatif

Pemilu sudah dekat. Baliho, spanduk, umbul-umbul, stiker, dan media yang memuat simbol partai dan caleg sudah sangat semarak. Hampir di sepanjang jalan, entah jalan raya atau jalan kecil, bahkan jalan setapak terpasang gambar partai dan calegnya. Maraknya foto-foto caleg yang terpasang di pinggir-pinggir jalan menandakan minat masyarakat terhadap legislatif sangat tinggi. Kalau diamati secara cermat, para caleg yang terpasang di papan-papan reklame itu rata-rata berpendidikan strata satu (S1). wajah-wajah mereka muncul dengan tiba-tiba. Ada wajah yang sudah akrab di benak kita, tetapi ada wajah yang sangat asing di lingkungannya. Wajah yang asing inilah barangkali seorang ibu rumah tangga yang hari-harinya sibuk di rumah atau orang pribumi yang merantau tiba-tiba ingin membangun tanah tumpah darahnya. Bahkan, konon ada caleg yang memang sangat terasing dari dunianya, karena Beliau berasal dari dunia luar dapil.

Rupanya fenomena tingginya minat masyarakat untuk menjadi legislatif ini harus disikapi dengan selektif. Keinginan itu sah-sah saja. Akan tetapi, seleksi alamlah yang akan berbicara. Banyaknya caleg ini berdampak membingungkan pemilih dalam menentukan pilihannya. Apa lagi, mereka yang tidak mengenal satu pun wajah caleg yang terpampang di pinggir-pinggir jalan. Ada orang yang fanatik dengan partai, tetapi tidak ada caleg yang selera untuk dipilih. Sebaliknya, ada orang yang fanatik atau menaruh minat pada figur tertentu, tetapi setelah mengetahui partainya, dia menjadi tidak bersemangat karena dia alergi dengan partai tersebut. Rupanya memilih caleg merupakan suatu keharusan. Lalu, bagaimana menyikapinya?

Berikut ada beberapa tips memilih legislatif.
Pertama, kalau ada saudara dekat Anda yang menjadi caleg, jangan ragu-ragu pilihlah dia apa pun partainya, karena dampak positif akan lebih banyak; Kedua, pilihlah caleg yang dicalonkan oleh partai, bukan sebaliknya caleg yang melamar ke partai. Ini berarti, Anda harus mengetahui partai-partai mana yang memilih caleg. Ketiga, pilihlah caleg yang Anda kenal, bukan asal centang. Oleh karena itu, kenalilah para caleg dari segala aspek. Keempat, pilihlah caleg yang berasal dari daerahnya.

Itulah beberapa tips untuk memilih caleg walaupun masih banyak tips yang dapat dipertimbangkan. Setelah Anda memilih caleg dan yang dipilih berhasil duduk di legislatif, janganlah meminta sesuatu darinya. Anda cukup mengontrol aktivitasnya di legislatif. Apakah Yang Terhormat dapat mengemban amanah atau sekedar mencari pekerjaan untuk mendapatkan gaji yang empuk. Janganlah melepaskan sedetik pun mata Anda terhadap sepak terjang Yang Terhormat. Kalau Yang Terhormat mencla-mencle, Anda jangan segan-segan untuk mengangkat senjata, bunyikan genderang perang melawan ke-mencla-menclean generasi bangsa yang sudah diberi amanah.

Rabu, 11 Maret 2009

Menjadi Guru Profesional Sangat Berat

Suatu saat saya merasa kewalahan untuk mengoreksi pekerjaan siswa. Target waktu yang saya tetapkan menjadi molor. Bayangkan saja, saat itu saya mengoreksi pekerjaan 264 siswa. Jenis tugas yang saya koreksi adalah bentuk uraian berupa karangan singkat dalam bentuk paragraf. Ada 4 aspek yang harus saya nilai, yaitu isi, bahasa,koherensi, dan ejaan. Satu pekerjaan siswa membutuhkan waktu tujuh menit. Kegiatan ini saya lakukan ketika ada waktu luang, istirahat atau pas tidak ada jam mengajar. Berapa waktu yang harus saya luangkan untuk mengoreksi semua pekerjaan siswa? Padahal, saya mengajar 28 jam per minggu. Waktu istirahat di sekolah hanya 11 X 15 menit per minggu. Waktu tidak mengajar hanya 10 X 45 menit per minggu.
Belum selesai mengoreksi satu jenis pekerjaan siswa, pekerjaan koreksi yang lain sudah menunggu. Begitu juga, pekerjaan-pekerjaan tambahan yang dibebankan kepada saya. Belum pekerjaan wajib berupa penyusunan perangkat pembelajaran, penyusunan laporan hasil penilaian, analisis, remedial.
Situasi kadang menjadi tidak ideal. Kadang-kadang ada yang menjadi korban. Entah tugas yang tidak dikoreksi atau pembuatan perangkat yang terbengkalai atau tugas tambahan yang dikerjakan secara borongan. Kadang menjadi seperti sok sibuk, tidak ada waktu untuk tetangga, waktu untuk bercengkerama dengan keluarga berkurang. Kapan belajarnya? Kapan berinternetnya? Kapan ngeblognya? Tuntutan di satu sisi keprofesionalan kadang terabaikan. Ataukah ini menjadi bagian dari unsur profesionalitas?
Ketidakidealan ini membuat saya jadi berpikir, lalu berandai-andai, berkonsep-konsep, beridealis. Idealisnya adalah sebagai berikut:
Pertama, jam mengajar seorang guru SMA adalah 24 jam per minggu itu ideal. Kedua, jumlah siswa per kelas adalah 32, ini sesuai SNP dan mendukung program SMK-isasi Diknas. Ketiga, guru jangan dilibatkan dengan tugas tambahan yang berat, seperti bendahara. Jika ide ini diterapkan, insyaAllah tugas persiapan, pelaksanaan, penilaian, dan tuntutan dalam rangka keprofesionalan dapat dipenuhi.

Rabu, 04 Maret 2009

Ponari Itu Media Ujian

Nama Ponari menjadi populer secara tiba-tiba. Nama Ponari yang tadinya tidak terlintas di benak bangsa, bahkan di lingkup RT sekalipun, menjadi nama yang pantas diperbincangkan oleh massa. Ponari menjadi buah bibir lantaran watu gludugnya yang konon mampu mensugesti orang-orang yang hampir putus asa menanti kesembuhan dari penyakitnya.
Ponari adalah salah satu maskot dari sekian ratus model penyembuhan penyakit dengan versi nonmedis. Penyembuhan versi Ponari atau yang mendekati versi ini sudah berlangsung sejak berabab-abad yang lalu. Gaya penyembuhan ini menjadi memuncak pada lima tahun belakangan ini. Masyarakat tiba-tiba terbius oleh penyembuhan-penyembuhan ala Ponari, Mak Erot, Gus Muh, Mang Ujang, Mbah Kliwon, dan Mbah-Mbah lainnya. Padahal, ilmu kedokteran semakin canggih. Dokter-dokter juga semakin banyak, ilmunya juga makin canggih. Teknologi kedokteran juga sangat mencengangkan. Tetapi, mengapa ribuan bahkan ratusan ribu orang mengantri untuk disembuhkan hanya dengan air, yang konon melebihi jumlah pasien seorang dokter spesialis?
Ponari adalah titik kulminasi kalau ditinjau dari jumlah pasien. Barangkali belum pernah ada di dunia ini, seorang dukun mempunyai pasien sampai lima ribu per hari. Ponari mampu mensugesti dunia. Ponari mampu mengalihkan sejenak konsentrasi masyarakat dalam mengikuti kasus-kasus korupsi tanah air, pemilu yang membingungkan, dan fenomena bangsa lainnya. Mengapa masyarakat terhipnotis oleh pengobatan atau penyembuhan semacam ini?
Ada beberapa hal yang dapat ditangkap melalui fenomena ini. Pertama, penyakit manusia semakin kompleks. Kedua, perkembangan jenis penyakit lebih cepat dibanding ilmu pengobatan medis. Ketiga, kepercayaan masyarakat kepada dokter atau medis mulai berkurang karena banyak kasus kegagalan penyembuhan secara medis. Keempat, masih banyak warga miskin di sekitar kita. Mereka tidak mampu berobat secara medis. Kelima, ujian bagi umat islam Indonesia. Dengan munculnya Ponari Dukun Cilik dan dukun-dukun lainnya, umat Islam Indonesia diuji mau ke jalan syirik atau Illahi. Tentunya, bagaimana kita menyikapinya. Ponari dan sejenisnya hanya sebagai salah satu media bagi Allah untuk menguji umatnya. Keenam, khusus Ponari adalah peringatan dari Allah yang ke sekian kali bagi Jawa Timur khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
Ujian dan peringatan Allah untuk kaum yang dikasihi mungkin saja melalui Ponari yang polos dan kehebatan-kehebatan dukun, tabib, ustad dan sederetan manusia yang aneh-aneh. Kita sedang menitih sebuah persimpangan. Apakah ke jalan Illahi atau ke jalan sesat. Silakan bersikap dan pilih!

Selasa, 24 Februari 2009

Perlu Pendidikan Lalu Lintas

Tingginya kasus kecelakaan lalulintas mesti harus disikapi. Bukan asal terjual laris roda-roda kendaraan. Bukan pula jalannya dipermulus. Satu solusi yang ditawarkan adalah pendidikan berlalu lintas.
Banyak pengendara - khususnya di kota-kota kecil - yang tidak layak mengendarai kendaraan di jalan raya. Entah siapa dia! Perawan pabrik atau anak-anak sekolahan. Lihat saja, kadang ada pengendara yang berjalan pelan dengan santainya di ruas tengah. Kadang ada pengendara yang nyalip dengan kecepatan yang lebih tinggi sedikit daripada yang disalib, lalu tiba-tiba setelah nyalip langsung zigzag ke depan yang disalip. Yang disalip pun kalang kabut injak rem. Ada lagi, pengendara menyalakan lampu zen ke kiri atau ke kanan sepanjang jalan. Mau ke mana dia? Tumbukan terjadi di tengah perempatan, padahal di situ ada lampu pengatur jalan yang menyala. Sedang enak-enaknya mulai menancap gas karena lampu hijau baru nyala, tiba-tiba tersentak oleh pengendara yang ujug-ujug nyelonong tanpa merasa bersalah, padahal ia mestinya saatnya berhenti karena lampu merah sudah menyala. Yang lebih menantang maut lagi, ketika pengendara sedang dalam keadaan berkonvoi, tiba-tiba tanpa menyalakan lampu zen, seorang pengendara belok ke kanan. Ada lagi, seorang pengendara dari jalan kecil tiba-tiba langsung masuk ke jalan raya tanpa tengak-tengok. Apa yang terjadi, pengendara yang berada di jalan raya langsung banting kemudi ke kanan. Demi menghindari, maut menjemput.
Kekonyolan-kekonyolan di atas sering kali terjadi. Mengapa? Sedikitnya ada dua hal. Pertama, pengendara yang melakukan kekonyolan itu tidak tahu etika berlalu lintas. Kedua, pengendara yang konyol itu belum punya jam terbang yang cukup layak. Kalau di kota-kota besar, hal itu jarang terjadi. Jadi, mereka yang sudah berpengalaman jam terbang berkendara di kota besar, tidak melakukan kekonyolan-kekonyolan.
Dua hal penyebab kekonyolan di atas dapat diminimalisasikan dengan pendidikan berlalu lintas. Entah secara formal maupun nonformal. Nyatanya, memang banyak orang yang mampu membeli kendaraan - terutama roda dua -, tetapi tidak layak untuk mengendarainya. Mereka butuh pendidikan berlalu lintas.

Jumat, 20 Februari 2009

Membangun Kepercayaan

Membangun Kepercayaan

Kapan ujian nasional tanpa pengawas dapat dilaksanakan? Kapan bekerja tidak diawasi oleh mandor? Kapan ujian seleksi cpns dilaksanakan tanpa pengawas? Kapan penggunaan dana tidak perlu diaudit? Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin terlalu berlebihan karena hampir tidak mungkin dapat dijawab. Kalau dijawab,jJawabannya pun mungkin tidak jelas. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena selama ini memang pengawas ada di mana-mana. Mengapa masih ada pengawasan? Pengawasan muncul karena ada unsur yang sangat urgen, yaitu tidak adanya kepercayaan atau paling tidak ada rasa curiga. Pemerintah tidak percaya kalau siswa-siswa dapat jujur, tidak mencontek saat ujian. Mandor tidak percaya kalau pekerjanya bisa jujur, bisa bekerja dengan baik. Pemerintah tidak percaya kalau calon pegawai dapat jujur, tidak curang. Pemberi dana juga tidak percaya kalau pengguna dana dapat jujur menggunakan dana sesuai anggaran. Rupanya kita sudah lama dilanda ketidakpercayaan kepada orang lain. Kapan mulainya? I don't know. Pemerintah tidak percaya kepada rakyat. Demikian pula, rakyat tidak percaya kepada pemerintah, bahkan legislatifnya. Kalau begini memang ruwet jadinya. Kepercayaan menjadi sesuatu yang sangat mahal.
Dapat dibayangkan kalau ketidakpercayaan ini berlangsung di semua lini, semua jadi ruwet. Ketidakpercayaan dapat menjadi fenomena, tentunya bergilir menjadi budaya.
Biasanya orang yang mudah menaruh kepercayaan kepada orang lain, dapat dipastikan orang itu dapat dipercaya. Sebaliknya, orang yang selalu menaruh curiga dan tidak mudah percaya kepada orang lain dapat dipastikan bahwa orang itu tidak bisa dipercaya. Hukum kebalikan menjadi hal yang sangat lumrah.
Untuk terciptanya kepercayaan harus diawali dari dua unsur. Pemerintah harus percaya kepada rakyat. Sebaliknya, rakyat harus percaya kepada pemerintah. Keduanya harus bersama-sama menjaga kepercayaan itu.
Untuk menghilangkan krisis kepercayaan memang sesulit membalikkan telapak kaki. Kedua unsur harus berkomitmen, diawali dari hal yang kecil. Semuanya harus berorientasi ke alam sana. Artinya, untuk dapat terwujud kepercayaan perlu penguasaan faktor religius yang sesungguhnya. Selama unsur religius belum dipahami secara kafah, susah benar kepercayaan itu memasyarakat. Teori dan aplikasi dari unsur religius harus sejalan. Orang yang pandai ilmu agama, harus diimbangi dengan pengamalan secara konsisten. Tapi, kapan Indonesia akan begini? 100 tahun lagi, kali!

Minggu, 15 Februari 2009

Kekerasan vs Kekasaran

Pada suatu acara workshop yang serius, tiba-tiba memecahlah tawa. Yang sedang mengantuk menjadi terjaga. Yang sedang serius menjadi buyar. Apa pasalnya? Ternyata seorang peserta menyeletuk. Lalu celetukannya itu dijawab dengan ringan oleh fasilitator.
"Bapak/Ibu, contoh kasus yang sedang marak terjadi adalah poligami, pelecehan seksual, penganiayaan pembantu rumah tangga, dan ...." ungkap fasilitator. Belum selesai, tiba-tiba seorang peserta menyambungnya.
"Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Pak!" Celetuk seorang peserta. Sang fasilitator tersenyum-senyum. Para peserta workshop menjadi bingung. Lalu sang fasilitator berucap
"Bapak, yang Saudara sebutkan baru saja, itu harus terjadi. Kekerasan dalam rumah tangga harus terjadi. Kalau tidak terjadi, tidak mungkin ada Si Thole dan Si Nok." celetuk fasilitator sambil tersenyum.
"Ha...ha...ha...ha...ha" serentak meledaklah tawa. Memang ada beberapa peserta yang bingung, terutama wanita-wanita lajang. Mereka bertanya-tanya pada rekan di sampingnya.
"Yang tidak harus terjadi apa, Pak?" sambung peserta tadi.
"Kekasaran dalam rumah tangga."
Dialog ringan yang terjadi pada saat workshop di atas patut direnungkan. Kata kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memang dapat digunakan untuk ihwal di atas. Kekerasan berarti 1). perihal (yang bersifat, berciri) keras, 2). perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Jadi, kata kekerasan lebih mengarah kepada fisik. Sedangkan, KDRT secara defakto tidak hanya fisik, melainkan psikhis. Caci dan maki dari seorang suami kepada isteri atau anak-anaknya lebih melukai psikhis. Tamparan dan pukulan dari anggota keluarga yang satu kepada anggota keluarga yang lain dapat melukai fisik dan psikhis. Kalau yang dimaksud oleh KDRT itu perbuatan baik dengan kata-kata maupun perbuatan yang dapat melukai fisik maupun psikhis, menurut hemat kami kata yang tepat adalah "kekasaran" bukan "kekerasan". Kekasaran bisa dengan kata-kata, bisa juga dengan perbuatan fisik, sedangkan kekerasan hanya bisa dengan perbuatan fisik. Jadi, KDRT itu mestinya adalah Kekasaran dalam Rumah Tangga bukan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Selasa, 10 Februari 2009

Hidup Itu Indah, Sayang

Kalau kita mendengarkan bahasa kehidupan dunia, sungguh kita akan takjub. Betapa tidak, kita sudah diatur sedemikian rupa teraturnya sehingga di akhir episode kita dapat menemukan hikmahnya. Biasanya di akhir episode itulah, kita baru sadar bahwa apa yang terjadi adalah sebuah jalan yang memang harus dilalui. Kita tidak usah mengatakan seandainya begini-begitu pasti akan begini-begitu. Begini-begitu adalah sebuah konsep manusia, sedangkan manusia itu tidaklah mengetahui apa-apa tentang sebuah peristiwa yang bakalan terjadi. Manusia hanya dapat berikhtiar dan memohon. Ketika ikhtiar dan permohonan belum sesuai yang diharapkan, kita hendaklah bersabar. Demikian pula, apabila yang diharapkan tidak sesuai dengan idealisme kita, hendaklah kita menerimanya dengan senang, jangan muncul sedikit pun kecewa, apalagi bersuudzon kepada Allah. Terimalah sesuatu dengan rasa syukur. Kalau memang sesuatu itu sangat diharapkan, apakah kita sudah maksimal dalam berikhtiar? Kalau sudah, bertawakallah. Yakinlah bahwa itu adalah yang terbaik untuk kita menurut Allah. Memang yang terbaik menurut kita terhadap sesuatu, belum tentu baik untuk kita menurut Allah. Prinsip yang paling baik adalah bahwa yang terbaik untuk kita hanyalah Allah yang tahu. Jika prinsip ini diterapkan, pasti hidup ini akan terasa indah. Indah dalam hal ini adalah keindahan untuk menerima bahasa dari Allah. Benar apa yang tertulis dalam filsafat Jawa kuno bahwa "urip iku saderma nglakoni". Jalanilah dengan enjoy hidup ini. Pastilah akan merasa hidup itu memang indah.

Sabtu, 07 Februari 2009

Kredit Pangkal Punya

Selama dasawarsa ini ada fenomena menarik yang patut dinalar. Bank-bank bersaing untuk mendapatkan kreditur, baik itu bank pemerintah maupun bank swasta, bahkan bank "ucek-ucek". Selain itu, dealer dan showroom pun tidak mau ketinggalan untuk mengejar nasabah atau kreditur. Mereka memberi kemudahan-kemudahan dan keringanan-keringanan. Mereka bersaing secara sehat, baik dengan suku bunga yang rendah maupun fasilitas yang menggiurkan. Semuanya dalam rangka mencari kreditur atau nasabah.
Kasus terakhir yang sangat menggiurkan adalah pengambilan kredit tanpa jaminan. Sebut saja "showroom kendaraan" misalnya, memberikan kredit kendaraan bermotor tanpa uang muka. Hanya bermodalkan fotokopi KTP, seseorang dapat membawa sepeda motor baru. Juga, ada kredit kendaraan khusus untuk pegawai negeri. Kredit ini tanpa "DP" serta bunganya sangat kecil. Beberapa bank menarik jasa administrasi yang agak tinggi untuk sebuak buku rekening. Artinya, masyarakat digiring untuk tidak mempunyai buku bank, artinya diharapkan ke buku kredit alias "hutang". Ada showroom yang mempersulit masyarakat jika hendak membeli kendaraan dengan cara tunai. Akan tetapi, bagi mereka yang membeli dengan cara kredit, dipermudah dan dipercepat. Fenomena apa ini? Orang punya duit malahan susah.
Fenomena kredit ini rupanya sudah mengakar dan membudaya. Kita akan susah kalau tidak kredit. Dunia pemberi kredit seolah menggiring masyarakat untuk terbelenggu dengan masalah ini. Apakah akan muncul pemeo baru, "kredit pangkal punya, tidak kredit tidak punya"?

Rabu, 04 Februari 2009

BBM dan Logika Ekonomi

Menjelang akhir pemerintahan SBY-Kala, banyak kebijakan-kebijakan yang memihak rakyat diluncurkan. Satu yang paling populer adalah penurunan harga BBM jenis premium dan solar. Tidak tangung-tangung, frekuensinya sampai 3 kali. Kebijakan ini diambil tentunya bukan karena "ada udang di balik batu" menjelang Pemilu, tetapi karena mengikuti perkembangan harga minyak dunia. Itu yang pasti.
Kalau ditelusuri sampai pada masa awal pemerintahan SBY-Kala, tentunya kita belum lupa akan kebijakan yang tidak populer, yaitu menaikkan harga BBM. Pada masa itu BBM melambung tidak tanggung-tanggung. Masyarakat menjerit, protes dan demontrasi ada di mana-mana. Akibat dari kebijakan itu, harga kebutuhan pokok dan lain-lain ikut melambung, padahal pemerintah belum mengeluarkan aturan kenaikan. Masyarakat aktif menaikkan sendiri harga pasar segala kebutuhan, pasar susah dikontrol.Akan tetapi, itulah logika di negeri kita. Sejak zaman baheula, jika harga BBM naik, harga kebutuhan lainnya pun pasti naik, itu lazim.
Akan tetapi, logika itu menjadi tidak berlogika (anlogika) ketika pemerintah menurunkan harga BBM. Setelah harga BBM turun mestinya secara logika harga-harga kebutuhan lainnya termasuk jasa transportasi turun. Kenyataannya, tidak demikian yang terjadi. Setelah harga BBM turun, harga kebutuhan pokok dan jasa transportasi tidak turun. Mereka bermalas-malas untuk menurunkan tarif dan harga. Mengapa?

Senin, 12 Januari 2009

Renungan Bahasa 2

Orang Tua dan Bahasa

Peran orang tua dalam keluarga adalah menjadi pendidik bagi anak-anaknya. Orang tua adalah pihak yang paling bertangung jawab atas sikap dan perlikaku anak-anaknya. Memang, di luar rumah ada lingkungan, ada sekolah. Di dua tempat ini anak mendapat pendidikan sikap dan perilaku. Akan tetapi, orang tua adalah penoreh lembaran anak yang paling pertama dan utama. Seperti selembar kertas, mau diisi apa tergantung pada penulisnya.
Pemerolehan pembelajaran sikap dan perilaku yang sangat utama pada keluarga adalah ketika orang tua berkomunikasi dengan anak-anaknya dan anggota keluarga yang lain. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi di dalam keluarga akan terekam dalam otak anak-anak kita, input bahasa itu akan tersimpan sangat kuat dalam memorinya. Kata-kata kasar dan kotor sangat mudah ditangkap oleh anak-anak kita. Kata-kata kotor sangat familiar bagi anak. Sekali saja anak menangkap kata-kata kotor dan kasar, ia akan menggunakannnya kapan saja dan di mana saja. Kata-kata yang dikeluarkan oleh anak-anak kita adalah cerminan perilaku anak tersebut. Namun, harus disadari juga sebenarnya di balik itu tercermin juga perilaku orang tuanya.
Orang tua yang selalu santun dalam bertutur tercermin juga pada kesantunan anak-anaknya ketika berkomunikasi. Memang terkadang, kesantunan bertutur yang sudah dipelihara dengan baik di keluarga, suatu saat tercemar oleh pergaulan di lingkungan. Anak dan orang tua yang terbiasa santun dalam berkomunikasi, kadang dikejutkan oleh letupan kosa kata-kosa kata kotor dari anak. Bila kita sudah yakin kesantunan komunikasi sudah terjaga dalam keluarga, kita dapat berkomentar bahwa kata-kata kotor itu datang dari pergaulan lingkungan. Kalau keadaannya seperti itu, filter keluarga harus sangat kuat.
Gambaran di atas adalah indikator betapa bahasa orang tua sangat berpengaruh terhadap tingkah laku dan kesantunan anak-anak. Pemerolehan bahasa yang kotor dari luar sesungguhnya dapat dinetralisasi secara kontinyu. Perlu kegigihan orang tua untuk itu.

Renungan Bahasa

Di Balik Fungsi Primer Bahasa
Fungsi primer bahasa adalah sebagai alat komunikasi, baik bahasa tulis mupun lisan. Alat untuk mengungkapkan suatu maksud ini suatu saat dapat berfungsi sekunder. Bila bahasa sudah difungsikan secara sekunder, banyak hal makro dapat terselesaiakan. Bahasa yang difungsikan secara sekunder ini sebenarnya tidak terlepas dari fungsi primernya. Fungsi sekunder merupakan efek dari fungsi konkret bahasa itu sendiri.
Kita dapat bercermin dari Cina. Betapa gigihnya negeri ini agar dapat bersaing di pasar global Asia. Persiapan besar yang dilakukan Cina adalah mengajarkan bahasa kepada dunia. Hampir di semua negara Asia ada pembelajaran bahasa Mandarin. Tidak tanggung-tanggung Cina mempromosikan bahasa nasionalnya secara besar-besaran. Semua biaya dan prasarana ditanggung Cina. Kelompok relawan pengajar pun langsung didatangkan dari Cina. Semua biaya penyelenggaranaan pengajaran bahasa Mandarin ditanggung oleh Cina.MoU dengan pemerintah pun dilakoni Cina.
Hebat, memang! Tidak satu negara pun yang demikian gigihnya memasarkan bahasa negaranya. Di balik kegigihannya itu, Cina sudah jauh mengatur strateginya untuk menghadapi perang ekonomi di kawasan Asia dan Eropa. Strategi itu ialah agar dunia menguasai bahasanya. Bila dunia sudah menguasai bahasa Mandarin, hal yang sangat mudah bagi Cina untuk memasarkan produk-produk andalannya. Strategi seperti ini pernah dilakukan oleh bangsa-bangsa penjajah. Sebut saja, Belanda atau Jepang. Untuk bisa tetap bercokol di daerah jajahan, Belanda mengajarkan bahasanya kepada pribumi.
Sudah menjadi rahasia umum, ada udang di balik batu. Ada maksud di balik pemasaran bahasa. Maksud yang sangat besar dan menjanjikan bagi perkembangan suatu negara bisa diawali dengan cara memasarkan bahasa.

Rabu, 07 Januari 2009

Catatan Untuk Siswa (Refleksi Movingclass)

Movingclass sebuah Solusi

Mulai semester 2 tahun pelajaran 2008/2009, SMA Negeri 2 Purbalingga mulai menerapkan sistem movingclass secara menyeluruh. Tiga hari sudah sistem itu berjalan. Setelah tiga hari itu, saya mewawancarai beberapa siswa tentang bagaimana kesan atau tanggapan setelah penerapan movingclass. Kebanyakan siswa mengatakan capek, tetapi ada beberapa yang mengatakan asyik. Sejak hari pertama ujicoba, kegiatan KBM berjalan lancar. Memang ketakutan-ketakutan sudah terlontar sebelaumnya. Namun, ketakutan itu terjawab sudah. Siswa dan guru dapat melaksanakan program tersebut dengan lancar dan enjoy.
Di balik movingclass, ada sesuatu maksud yang agung. Movingclass bukan gaya atau model yang tanpa maksud, tapi penuh latar belakang dan tujuan yang sangat idealis dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, khususnya di SMA Negeri 2 Purbalingga. Alur logika sederhananya adalah: satu, dengan movingclass dapat menghilangkan kejenuhan suasana. Dua, dengan movingclass siswa bergerak untuk berpindah kelas. Mereka harus berjalan. Dengan berjalan ini motorik siswa selalu aktif. Bandingkan kalau tidak moving, saat berganti pelajaran para siswa tetap di kelas, biasanya mereka lesu, ngantuk. Akan tetapi, dengan moving para siswa selalu energik. Karena energik, reaksi dengan lingkungan pun semakin baik. Termasuk reaksi menerima pelajaran. Oleh karena itulah, barangkali Badan Standar Nasional Pendidikan mengupayakan agar sekolah standar nasional (SSN)dan rintisannya atau SBI dan rintisannya menerapkan movingclass sitem.

Profesionalitas Guru

Profesionalitas Guru dan Batu Bara

UU No 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen mensyaratkan guru merupakan sebuah profesi yang membutuhkan profesionalitas anggotanya. Diharapkan profesi guru seperti Ikatan Dokter Indonesia dan Ikatan Advokasi Indonesia. UU tersebut merupakan kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan derajat guru. Jabatan guru dan dosen diharapkan berbeda dengan jabatan-jabatan lain.
Upaya untuk peningkatan profesionalitas guru sudah banyak dilakukan, seperti : diklat, workshop, seminar, dan kegiatan-kegiatan tak bernama yang intinya bertujuan meningkatkan profesionalitas guru. Keseriusan pemerintah untuk meningkatkan profesionalitas guru diawali dengan seleksi guru profesional melalui penilaian portofolio. Para guru yang lulus portofolio dianggap sebagai guru yang profesional, sedangkan guru yang tidak lulus dianggap belum profesional, mereka harus menempuh jalur diklat PLPG agar menjadi profesional.
Untuk menjadi guru yang profesional kuncinya adalah pada komitmen diri, yakni sejauh mana upaya diri untuk meningkat. Sekuat dan segencar apa pun upaya pemerintah, kalau komitmen masing-masing guru lemah, upaya itu akan sia-sia. Guru adalah manusia yang berpendidikan, tentunya mudah diajak untuk meningkat. Tetapi, kenyataannya? Guru masih tertatih-tatih kalau diajak profesional. Sebenarnya, apa yang menjadi kendala dan solusi apa untuk meningkatkan profesionalitas guru itu?
Seringkali saat guru sedang mengikuti diklat atau sejenisnya, saat itu semangat untuk meningkat membara dan ide-ide cemerlang bermunculan. Di saat diklat itulah semangat guru terbakar oleh motivasi-motivasi fasilitator. Semangat guru membara, bahkan menyala-nyala. Biasanya, saat itu pula ia ingin segera memulainya. Akan tetapi, setelah sampai di sekolah, apa yang yang terjadi? Bara itu padam! Guru mulai terbebani oleh tugas-tugas dan kegiatan lain yang sudah menghadang. Tugas-tugas dan kegiatan yang mestinya menjadi bagian dari profesionalitas guru dianggap menjadi air yang memadamkan bara. Akhirnya, idealis guru saat diklat atau sejenisnya terbang lepas.
Mestinya, bara-bara idealis harus tetap berkobar. Caranya: Satu, tetaplah berkomunikasi dengan rekan diklat, fasilitator, widyaiswara sehingga jalinan keilmuan tidak putus. Kedua, bentuklah komunitas alumni diklat dan tindak lanjuti dengan kegiatan –kegiatan yang menunjang secara periodik. Ketiga, tetaplah berkomitmen untuk profesional, di mana pun, kapan pun dan seberapa pun. Empat, ketika sertifikat guru profesional sudah diperoleh, bertangung jawablah atas sertifikat itu, jadikanlah sertifikat itu sebagai pengontrol diri.
Kuncinya adalah komitmen yang kuat dan kontinyu dan selalu mendekat dengan api sebagai penyulut bara profesional.

FITUR KEBAHASAAN PADA GENRE TEKS

Kaidah Kebahasaan pada Pembelajaran Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA diarahkan pada pengembangan ...