Rabu, 22 April 2009

Esai

Kartini Telah Diperalat

Tanggal 21 April adalah tanggal untuk melihat perempuan, karena tanggal ini telah ditetapkan sebagai tanggal peringatan Kartini. Kartini adalah perempuan yang hebat di antara segala perempuan saat itu. dia tidak saja cerdas, tetapi juga punya komitmen terhadap perempuan itu sendiri. Prinsip-prinsip tentang perempuan sangatlah sederhana, tetapi tidak murahan, juga tidak over. Keberadaan Kartini bukanlah suatu kebetulan saja. Konsep dan paradigma Kartini saat itu sungguh spektakuler. Itulah barangkali, Kartini menjadi cerminan perempuan bangsa Indonesia.

Beberapa tahun belakangan ini, nama Kartini telah dicatut demi nafsu dan keserakahan perempuan. Penuntutan kesamaan hak perempuan dengan laki-laki yang kelewat batas telah menciptakan "kartini yang kekartonoan". Kartini versi baru telah lahir, yakni Kartini yang berani menghardik lelaki, Kartini yang tidak punya prinsip, Kartini yang justru melecehkan perempuan itu sendiri, dan yang paling menakutkan adalah Kartini yang melawan kodrat.

Kartini telah dieksploitasi oleh perempuan. Kartini telah diperalat oleh perempuan. Berdalih kartini demi memenuhi egonya, demi nafsunya, dan demi iblis yang bersemayam di tubuh perempuan. Kartini kini telah terkoyak dan bias. Sungguh kasihan Kartini yang telah membukakan kran kemerdekaan bagi perempuan. Sungguh kasihan Kartiniku, engkau telah diperalat.

Esai

UN Sebuah Penggeneralisasian Kompetensi

Ujian Nasional dilaksanakan tiap tahun dengan pola yang sama. Yang dimaksud pola yang sama, yakni jenis soal untuk tingkat sekolah tertentu selalu seragam. Begitu pula, standar kelulusan pun sama untuk jenjang pendidikan tertentu. Contoh, soal tingkat SMA, baik negeri - swasta; sekolah kota - sekolah pinggiran; sekolah favorit - sekolah nonfavorit, sama saja. Demikian pula, standar kelulusannya sama, yakni 5,5. Akibtanya, pro dan kontra tentang hal itu pun selalu bermunculan. Puas dan tidak puas pun selalu terlontar.

Kalau diperhatikan, memang soal dan standar kelulusan sudah dibuat rerata dari kelompok sekolah di atas. Akan tetapi, kalau dipetakan satu per satu, terasa tidak adil. Sekolah favorit atau unggulan akan merasa sangat ringan jika hanya mencapai standar tersebut, sedangkan sekolah pinggiran atau "sekolah saringan" akan sangat kerepotan untuk mencapai standar tersebut. Titik temu standar kelulusan itu dirasa tidaklah adil, karena tidak mengukur, tidak menempatkan sesuatu sesuai porsinya seperti prinsip keadilan. Soal dan standar kelulusan adalah sebuah hasil penggeneralisasian pendidikan.

Lalu, apa solusi yang ditawarkan? Ditawarkan tidak harus dibeli, tapi harus ditawar lagi. Pertama, alangkah indahnya kalau diadakan pemetaan sekolah dalam rangka untuk menentukan kelompok sekolah. Misalnya, sekolah kategori sangat baik, baik, sedang, dan kurang, atau tipe A, B, C, dan D. Kedua, ada soal UN dan standar kelulusan untuk masing-masing tipe sekolah. Berdasarkan hasil UN tersebut, sekolah-sekolah ini dapat naik tipe atau turun tipe. Dengan demikian, mereka akan berkompetisi dengan cantik tanpa rasa tertekan. Kalau masih digeneralisasikan seperti sekarang, pasti ada perasaan yang berbeda, yakni rasa "enteng" dan "berat".

FITUR KEBAHASAAN PADA GENRE TEKS

Kaidah Kebahasaan pada Pembelajaran Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA diarahkan pada pengembangan ...