UN Sebuah Penggeneralisasian Kompetensi
Ujian Nasional dilaksanakan tiap tahun dengan pola yang sama. Yang dimaksud pola yang sama, yakni jenis soal untuk tingkat sekolah tertentu selalu seragam. Begitu pula, standar kelulusan pun sama untuk jenjang pendidikan tertentu. Contoh, soal tingkat SMA, baik negeri - swasta; sekolah kota - sekolah pinggiran; sekolah favorit - sekolah nonfavorit, sama saja. Demikian pula, standar kelulusannya sama, yakni 5,5. Akibtanya, pro dan kontra tentang hal itu pun selalu bermunculan. Puas dan tidak puas pun selalu terlontar.
Kalau diperhatikan, memang soal dan standar kelulusan sudah dibuat rerata dari kelompok sekolah di atas. Akan tetapi, kalau dipetakan satu per satu, terasa tidak adil. Sekolah favorit atau unggulan akan merasa sangat ringan jika hanya mencapai standar tersebut, sedangkan sekolah pinggiran atau "sekolah saringan" akan sangat kerepotan untuk mencapai standar tersebut. Titik temu standar kelulusan itu dirasa tidaklah adil, karena tidak mengukur, tidak menempatkan sesuatu sesuai porsinya seperti prinsip keadilan. Soal dan standar kelulusan adalah sebuah hasil penggeneralisasian pendidikan.
Lalu, apa solusi yang ditawarkan? Ditawarkan tidak harus dibeli, tapi harus ditawar lagi. Pertama, alangkah indahnya kalau diadakan pemetaan sekolah dalam rangka untuk menentukan kelompok sekolah. Misalnya, sekolah kategori sangat baik, baik, sedang, dan kurang, atau tipe A, B, C, dan D. Kedua, ada soal UN dan standar kelulusan untuk masing-masing tipe sekolah. Berdasarkan hasil UN tersebut, sekolah-sekolah ini dapat naik tipe atau turun tipe. Dengan demikian, mereka akan berkompetisi dengan cantik tanpa rasa tertekan. Kalau masih digeneralisasikan seperti sekarang, pasti ada perasaan yang berbeda, yakni rasa "enteng" dan "berat".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Anda berkomentar! Komentar Anda bermanfaat bagi kami. Komentar Anda tidak mengurangi apa pun bagi Anda.