Minggu, 22 Maret 2009

Esai

Generasi Posmomotor

Perkembangan iptek pada kendaraan telah melahirkan mode-mode kendaraan yang semakin cantik. Setiap tahun selalu muncul mode terbaru di dunia kendaraan, entah roda dua atau pun roda empat. Begitu cepatnya kecanggihan mode berubah. Sepeda motor produksi 2008 sudah tidak canggih lagi, karena mode motor terbaru sudah diproduksi. Demikian pula, mode terbaru ini akan hengkang dalam sekejap mata karena sudah ada mode yang lain yang siap diluncurkan. Begitulah, mode selalu berganti. Frekuensi perubahan mode yang cepat ini justru telah melahirkan generasi yang tidak puas dengan mode mana pun. Banyak remaja yang entah karena apa merasa tidak puas dengan mode motor keluaran pabrik, lantas mereka memodifikasinya. Padahal, sepeda motornya keluaran terbaru yang jelas modenya terbaru juga. Langkah memodifikasi motor ini banyak latar belakangnya, yang utama adalah si pemilik ingin motornya terlihat nyentrik, lain dengan yang lain. Untuk mencurahkan ekspresinya pada kendaraan, kadang seseorang menjadi tidak bernalar. Contohnya, tinggi kendaraan yang sudah diprogram sedemikian rupa harus disimpangkan dengan cara mengganti roda yang ukuran lebih kecil sehingga motor tampak ndeprok. Lantas, ketika dipakai di jalan yang terdapat tanggul (polisi tidur), harus digotong. Ini salah satu contoh modifikasi yang keluar dari nalar. Ilustrasi di atas merupakan salah satu gejala posmo. Terlepas dari apakah penentangannya terhadap mode menjadi lebih baik, maupun menjadi tidak baik dan mengesampingkan sisi logika.

Ketidakpuasan terhadap sesuatu yang sudah mapan ini memang kadang melahirkan sesuatu yang jauh dari logika. Modifikan lebih mempertimbangkan kepada unsur seni dan estetika semata. Unsur yang primer kadang ditinggalkan. Motor menjadi tidak bermanfaat setelah dimodifikasi. Barang ini hanya layak menjadi tontonan yang mestinya hanya dipajang di etalase saja.

Perpaduan unsur estetika dan fungsi primer dari kendaraan mestinya menjadi petimbangan dalam memodifikasi, sehingga tujuan semula dari pabrik dapat tetap terlaksana. Anehnya, ketika pabrik pun mencoba mencipta kendaraan yang mengikuti selera modifikan, tidaklah populer, tidak laku. Selera modifikan memang unik, tak bisa direkam begitu saja lantas ditiru oleh pabrikan.

Gejala posmomotor ini telah melahirkan seniman-seniman bengkel yang berpikir dua kali lipat dari perancang-perancang di pabrikan. Perancang motor pabrikan mempertimbangkan sedikit estetika, tetapi melebihkan fungsi primernya. Sedangkan, modifikan mendominasi pertimbangannya pada estetika, sehingga kadang unsur primer terlupakan. Mestinya, modifikan harus lebih ektra mempertimbangkan keduanya.

Esai

Generasi Posmomotor

Waktu terasa begitu menyebalkan ketika saya sedang menunggu isteri berbelanja di pasar. Daripada bengong, di tempat parkir yang berada di tepi jalan, saya perhatikan setiap pengendara dan pengemudi yang lewat. Barangkali saja, ada wajah yang saya kenal sedang melintas. Asyik juga kesibukan itu. Dari pengamatan tak terprogram itu, saya mendapatkan sesuatu yang cukup mengesankan. Apakah itu?

Selama setengah jam memperhatikan pengendara yang melintas di depan pasar, saya terbayang tayangan televisi tentang kesibukan masyarakat di Tokyo. Begitu sibuknya pengendara sepeda motor di kota saya. Sambil mengendara, banyak di antara mereka ber-SMS di ponselnya. Mata, perhatian, konsentrasinya di bagi dua. Di satu sisi harus menyetir kendaraan, di sisi yang lain mengetik SMS. Seolah tak menghiraukan hiruk pikuknya jalanan. Jangankan peduli sekeliling, keselamatan diri saja barangkali tak terpikirkan. Mereka seperti terhipnotis oleh SMS yang masuk, lantas harus dijawabnya seketika itu. Sayang, saya tidak mencatat berapa pengendara yang seperti itu dari sekian pengendara yang melintas saat itu. Yang jelas saya hanya bergeneralisasi bahwa pengendara yang "sibuk" itu cukup banyak. Fenomena ini tidak hanya terjadi di temnpat itu pada saat itu. Ternyata, setiap kali saya berkendara, saya selalu menjumpai "makhluk sibuk" seperti itu. Pemandangan tentang pengendara "sibuk" itu mengingatkan saya kepada tayangan televisi di Tokyo tadi.

Multitasking sudah mewabah di masyarakat kita. Multitasking bukan tanpa risiko. Kalau kedua aktifitas dapat dijalankan dengan baik, barangkali multitasking dapat berakhir dengan sukses. Akan tetapi, perlu dipikirkan dampak bagi pihak lain. Risiko kecelakaan ketika berkendara sambil SMS tidak terjadi, tetapi pengendara lain mungkin merasa terganggu kenyamanannya karena "pengendara sibuk" tidak berjalan dengan sempurna, terlalu ke tengah dan terlalu lambat. Susah untuk didahului. Itulah risiko sampingannya. Tidak terjadi pada pelaku, tetapi pada korban.

Orang hebat di tengah jalan itu tidak saja remaja, dijumpai pula orang-orang tua yang mestinya sudah banyak pertimbangan. Korban akibat "merasa hebat" itu sebenarnya sudah cukup banyak. Multitasking telah dibayar dengan raga dan nyawa. Akan tetapi, pemandangan tentang pengendara yang melakukan multitasking selalu saja ada. Barangkali mereka merasa tak ada waktu lagi. Padahal, kalau mau berpikir positif tidak melakukan atau menunda membalas SMS saat berkendara tidak akan merugikan sedikit pun. Berentilah sejenak dan luangkan waktu untuk membaca dan membalas SMS, baru melanjutkan perjalanan. Lima menit sangat berarti untuk memproteksi diri dari ancaman maut. Renungkanlah.

Senin, 16 Maret 2009

Esai

Nikah Siri, Cara Nikah Jadul

Istilah nikah siri sebenarnya muncul setelah pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Tanggal 2 Januari 2974 adalah penetapan berlakunya undang-undang tersebut. Setelah diberlakukannya undang-undang tersebut, istilah nikah siri mulai populer.
Orang tua kita yang menikah sebelum adanya undang-undang tersebut, riwayat pernikahannya tidak terdokumentasi atau tidak tercatat di Kantor Urusan Agama. Secara agamis pernikahan itu sudah memenuhi persayaratan. Mereka menikah sesuai syarat rukunnya, yaitu di bawah penghulu atau kyai, ada wali, ada saksi, ada mas kawin, dan (mungkin) dicatat oleh penghulu atau kyai tersebut. Namun, satu hal yang belum dilakukan saat itu, yaitu melaporkan dan mendokumentasikan. Wajarlah apabila orang-orang jadul tidak mempunyai surat kawin. Mereka kalau dimintai bukti pernikahan tidak dapat menunjukkannya. Secara de facto sudah menikah, tetapi de yure tidak dapat dipenuhi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah siri adalah pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama. Menghubungkan makna nikah siri dengan keadaan nikah jaman sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diterbitkan, kiranya tidaklah berlebihan jika saya mengansumsikan bahwa nikah siri identik dengan nikah jadul, yaitu sebelum ada undang-undang perkawinan. Otomatis ketika ada seseorang yang menikah dengan tidak sesuai pasal 2 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974, diidentifikasikanlah sebagai nikah siri. Bedanya, adalah dicatat atau tidak di Kantor Urusan Agama. Kalau sebuah pernikahan sampai dicatat di Kantor Urusan Agama, pernikahanannya tidak dogolongkan ke nikah siri. Sebaliknya, sebuah pernikahan tidak sampai terekam oleh Kantor Urusan Agama, pelaku nikah digolongkan melakukan nikah siri.

Zaman sekarang nikah siri biasanya dilakukan karena keterpaksaan oleh keadaan yang tidak beres, tetapi mengejar target terlepas dari koridor perzinaan. Pelaku nikah siri merasa lega karena istilah zina tidak akan menghantui lagi. Satu pokok pertimbangan itulah yang kadang menutup pertimbangan-pertimbangan yang lain. Seandainya dua makhluk yang akan melangsungkan pernikahan itu beres, pastilah mereka akan menempuh nikah yang sesuai UU.

Sebenarnya, di balik nikah siri ada ancaman bagi perempuan. Kalau perempuan mau berpikir jernih dan berorientasi ke depan, pastilah dia tidak mau diajak nikah siri oleh pasangannya. Ini dikarenakan tidak saja kehilangan hak-haknya sebagai seorang isteri, tetapi juga dianggap sebagai gundik atau simpanan oleh masyarakat. Hanya saja, nasibnya lebih sedikit mujur dari gundik. Ancaman lain, awas suatu saat "habis manis sepah dibuang". Sekarang, nikah siri tidaklah lazim.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diimplementasikan sebagai sebuah pencerah, sebagai tanda bangsa yang beradab, sebagai pengayom derajat perempuan, pengendali untuk kaum laki-laki agar menghargai perempuan sebagai mitra.

Kamis, 12 Maret 2009

Esai

Memilih Legislatif

Pemilu sudah dekat. Baliho, spanduk, umbul-umbul, stiker, dan media yang memuat simbol partai dan caleg sudah sangat semarak. Hampir di sepanjang jalan, entah jalan raya atau jalan kecil, bahkan jalan setapak terpasang gambar partai dan calegnya. Maraknya foto-foto caleg yang terpasang di pinggir-pinggir jalan menandakan minat masyarakat terhadap legislatif sangat tinggi. Kalau diamati secara cermat, para caleg yang terpasang di papan-papan reklame itu rata-rata berpendidikan strata satu (S1). wajah-wajah mereka muncul dengan tiba-tiba. Ada wajah yang sudah akrab di benak kita, tetapi ada wajah yang sangat asing di lingkungannya. Wajah yang asing inilah barangkali seorang ibu rumah tangga yang hari-harinya sibuk di rumah atau orang pribumi yang merantau tiba-tiba ingin membangun tanah tumpah darahnya. Bahkan, konon ada caleg yang memang sangat terasing dari dunianya, karena Beliau berasal dari dunia luar dapil.

Rupanya fenomena tingginya minat masyarakat untuk menjadi legislatif ini harus disikapi dengan selektif. Keinginan itu sah-sah saja. Akan tetapi, seleksi alamlah yang akan berbicara. Banyaknya caleg ini berdampak membingungkan pemilih dalam menentukan pilihannya. Apa lagi, mereka yang tidak mengenal satu pun wajah caleg yang terpampang di pinggir-pinggir jalan. Ada orang yang fanatik dengan partai, tetapi tidak ada caleg yang selera untuk dipilih. Sebaliknya, ada orang yang fanatik atau menaruh minat pada figur tertentu, tetapi setelah mengetahui partainya, dia menjadi tidak bersemangat karena dia alergi dengan partai tersebut. Rupanya memilih caleg merupakan suatu keharusan. Lalu, bagaimana menyikapinya?

Berikut ada beberapa tips memilih legislatif.
Pertama, kalau ada saudara dekat Anda yang menjadi caleg, jangan ragu-ragu pilihlah dia apa pun partainya, karena dampak positif akan lebih banyak; Kedua, pilihlah caleg yang dicalonkan oleh partai, bukan sebaliknya caleg yang melamar ke partai. Ini berarti, Anda harus mengetahui partai-partai mana yang memilih caleg. Ketiga, pilihlah caleg yang Anda kenal, bukan asal centang. Oleh karena itu, kenalilah para caleg dari segala aspek. Keempat, pilihlah caleg yang berasal dari daerahnya.

Itulah beberapa tips untuk memilih caleg walaupun masih banyak tips yang dapat dipertimbangkan. Setelah Anda memilih caleg dan yang dipilih berhasil duduk di legislatif, janganlah meminta sesuatu darinya. Anda cukup mengontrol aktivitasnya di legislatif. Apakah Yang Terhormat dapat mengemban amanah atau sekedar mencari pekerjaan untuk mendapatkan gaji yang empuk. Janganlah melepaskan sedetik pun mata Anda terhadap sepak terjang Yang Terhormat. Kalau Yang Terhormat mencla-mencle, Anda jangan segan-segan untuk mengangkat senjata, bunyikan genderang perang melawan ke-mencla-menclean generasi bangsa yang sudah diberi amanah.

Rabu, 11 Maret 2009

Menjadi Guru Profesional Sangat Berat

Suatu saat saya merasa kewalahan untuk mengoreksi pekerjaan siswa. Target waktu yang saya tetapkan menjadi molor. Bayangkan saja, saat itu saya mengoreksi pekerjaan 264 siswa. Jenis tugas yang saya koreksi adalah bentuk uraian berupa karangan singkat dalam bentuk paragraf. Ada 4 aspek yang harus saya nilai, yaitu isi, bahasa,koherensi, dan ejaan. Satu pekerjaan siswa membutuhkan waktu tujuh menit. Kegiatan ini saya lakukan ketika ada waktu luang, istirahat atau pas tidak ada jam mengajar. Berapa waktu yang harus saya luangkan untuk mengoreksi semua pekerjaan siswa? Padahal, saya mengajar 28 jam per minggu. Waktu istirahat di sekolah hanya 11 X 15 menit per minggu. Waktu tidak mengajar hanya 10 X 45 menit per minggu.
Belum selesai mengoreksi satu jenis pekerjaan siswa, pekerjaan koreksi yang lain sudah menunggu. Begitu juga, pekerjaan-pekerjaan tambahan yang dibebankan kepada saya. Belum pekerjaan wajib berupa penyusunan perangkat pembelajaran, penyusunan laporan hasil penilaian, analisis, remedial.
Situasi kadang menjadi tidak ideal. Kadang-kadang ada yang menjadi korban. Entah tugas yang tidak dikoreksi atau pembuatan perangkat yang terbengkalai atau tugas tambahan yang dikerjakan secara borongan. Kadang menjadi seperti sok sibuk, tidak ada waktu untuk tetangga, waktu untuk bercengkerama dengan keluarga berkurang. Kapan belajarnya? Kapan berinternetnya? Kapan ngeblognya? Tuntutan di satu sisi keprofesionalan kadang terabaikan. Ataukah ini menjadi bagian dari unsur profesionalitas?
Ketidakidealan ini membuat saya jadi berpikir, lalu berandai-andai, berkonsep-konsep, beridealis. Idealisnya adalah sebagai berikut:
Pertama, jam mengajar seorang guru SMA adalah 24 jam per minggu itu ideal. Kedua, jumlah siswa per kelas adalah 32, ini sesuai SNP dan mendukung program SMK-isasi Diknas. Ketiga, guru jangan dilibatkan dengan tugas tambahan yang berat, seperti bendahara. Jika ide ini diterapkan, insyaAllah tugas persiapan, pelaksanaan, penilaian, dan tuntutan dalam rangka keprofesionalan dapat dipenuhi.

Rabu, 04 Maret 2009

Ponari Itu Media Ujian

Nama Ponari menjadi populer secara tiba-tiba. Nama Ponari yang tadinya tidak terlintas di benak bangsa, bahkan di lingkup RT sekalipun, menjadi nama yang pantas diperbincangkan oleh massa. Ponari menjadi buah bibir lantaran watu gludugnya yang konon mampu mensugesti orang-orang yang hampir putus asa menanti kesembuhan dari penyakitnya.
Ponari adalah salah satu maskot dari sekian ratus model penyembuhan penyakit dengan versi nonmedis. Penyembuhan versi Ponari atau yang mendekati versi ini sudah berlangsung sejak berabab-abad yang lalu. Gaya penyembuhan ini menjadi memuncak pada lima tahun belakangan ini. Masyarakat tiba-tiba terbius oleh penyembuhan-penyembuhan ala Ponari, Mak Erot, Gus Muh, Mang Ujang, Mbah Kliwon, dan Mbah-Mbah lainnya. Padahal, ilmu kedokteran semakin canggih. Dokter-dokter juga semakin banyak, ilmunya juga makin canggih. Teknologi kedokteran juga sangat mencengangkan. Tetapi, mengapa ribuan bahkan ratusan ribu orang mengantri untuk disembuhkan hanya dengan air, yang konon melebihi jumlah pasien seorang dokter spesialis?
Ponari adalah titik kulminasi kalau ditinjau dari jumlah pasien. Barangkali belum pernah ada di dunia ini, seorang dukun mempunyai pasien sampai lima ribu per hari. Ponari mampu mensugesti dunia. Ponari mampu mengalihkan sejenak konsentrasi masyarakat dalam mengikuti kasus-kasus korupsi tanah air, pemilu yang membingungkan, dan fenomena bangsa lainnya. Mengapa masyarakat terhipnotis oleh pengobatan atau penyembuhan semacam ini?
Ada beberapa hal yang dapat ditangkap melalui fenomena ini. Pertama, penyakit manusia semakin kompleks. Kedua, perkembangan jenis penyakit lebih cepat dibanding ilmu pengobatan medis. Ketiga, kepercayaan masyarakat kepada dokter atau medis mulai berkurang karena banyak kasus kegagalan penyembuhan secara medis. Keempat, masih banyak warga miskin di sekitar kita. Mereka tidak mampu berobat secara medis. Kelima, ujian bagi umat islam Indonesia. Dengan munculnya Ponari Dukun Cilik dan dukun-dukun lainnya, umat Islam Indonesia diuji mau ke jalan syirik atau Illahi. Tentunya, bagaimana kita menyikapinya. Ponari dan sejenisnya hanya sebagai salah satu media bagi Allah untuk menguji umatnya. Keenam, khusus Ponari adalah peringatan dari Allah yang ke sekian kali bagi Jawa Timur khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
Ujian dan peringatan Allah untuk kaum yang dikasihi mungkin saja melalui Ponari yang polos dan kehebatan-kehebatan dukun, tabib, ustad dan sederetan manusia yang aneh-aneh. Kita sedang menitih sebuah persimpangan. Apakah ke jalan Illahi atau ke jalan sesat. Silakan bersikap dan pilih!

FITUR KEBAHASAAN PADA GENRE TEKS

Kaidah Kebahasaan pada Pembelajaran Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA diarahkan pada pengembangan ...