Senin, 04 Mei 2009

Esai

Membeli Jabatan

Menjadi pemimpin adalah menjadi orang yang siap berlaku adil, amanah, dan teladan. Menjadi pemimpin pada era sekarang sangatlah berat. Seorang pemimpin yang pandai, cakap, dapat menjadi teladan, kadang tidak dirasa cukup oleh masyarakat. Sebaliknya, ada orang yang kurang cakap, pola hidupnya kurang bisa diteladani, dianggap bagus untuk pemimpin. Masyarakat kita menjadi susah ditebak apa maunya.

Pemimpin adalah amanah. Oleh karena itu, dalam suksesinya harus dipertimbangkan kadar keamanahannya. Namun, kenyataannya banyak calon pemimpin yang tidak bisa mengoreksi diri, apakah dirinya pantas menjadi pemimpin atau tidak. Bahkan, orang-orang yang berduit dapat dengan mudah menentukan dirinya pantas memimpin. Faktor pertimbangannya adalah uang. Padahal, bila seseorang ingin menjadi pemimpin lantas mereka menggunakan kekayaannya untuk mewujudkan keinginannya itu, sama saja mereka membeli jabatan. Contoh konkret dari kasus ini adalah "caleg". Banyak caleg yang karena kekayaannya menganggap dirinya pantas untuk duduk di lembaga legislatif.

Jabatan tidak dapat dibeli, karena setan akan selalu mengikuti dalam jabatan itu. Kelak, jabatan yang diperoleh dengan cara "beli" akan selalu menimbulkan masalah, tidak saja bagi dirinya, tetapi bagi umat. Seyogyanya, promosi jabatan atau proses apa saja yang dapat mencetak pemimpin atau pejabat dibuat oleh orang atau lembaga yang amanah. Bila demikian, insyaallah akan tercetak pemimpin dan pejabat yang amanah yang dapat menjalankan tugas tanpa diiringi setan.

Minggu, 03 Mei 2009

Esai

Sekolah Gratis, Enak Ya

Tahun 2009 ini pemerintah betul-betul mewujudkan sekolah gratis untuk SD dan SMP negeri. Tentunya tekad ini disambut gembira oleh masyarakat. Pelaksanaan program ini sebagai konsekuensi program wajar dikdas 9 tahun. Iklan sekolah gratis sudah diputar setiap menit, masyarakat pun sudah mengetahuinya. Di balik ini semua ada ketakutan di kalangan yayasan pengelola sekolah swasta, baik SD maupun SMP. Mereka miris dengan masa depan, jangan-jangan sekolah swasta akan gulung tikar. Bagaimana mensikapinya?

Pertama, sebenarnya sekolah gratis untuk SD dan SMP negeri justru nilai plus untuk sekolah swasta. Sekolah swasta diberi kesempatan seluas-luasnya untuk meningkatkan diri dengan cara berkompetisi kualitas dengan sekolah negeri. Masyarakat kita sudah berorientasi pada kualitas. Jadi, sekolah mana yang berkualitas itulah yang dipilih, walaupun mereka harus membayar. Saat ini masyarakat kita sudah berpikir realistis. Mereka berparadigma "mutu tidak gratis". Paradigma inilah yang membuka potensi sekolah swasta untuk mengembangkan diri. Eksistensi dan kualitas sekolah swasta menjadi perhitungan tersendiri bagi masyarakat. Banyak sekolah swasta menjadi incaran masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya. Pertimbangannya sederhana, yaitu kualitas. 

Kedua, sekolah negeri harus tetap mempertimbangkan kualitas. Mestinya pemikiran "yang pintar gratis, yang bodoh bayar" mulai direnungkan oleh masyarakat dan institusi pendidikan kita, kalau mau peningkatan mutu pendidikan Indonesia signifikan. Sekolah gratis tidak ada artinya kalau output-nya masih rendah atau masih berpikir yang "penting bisa sekolah". Jangan sampai program sekolah gratis justru menjadi bumerang bagi pemerintah di saat sedang meningkatkan mutu pendidikan. 

Ketiga, sekolah gratis yang tidak menyeluruh dapat melahirkan pola pikir masyarakat modern tentang gengsi dan prestise. Jika anaknya pandai mengapa ia menyekolahkan di sekolah gratis, gengsi dong! Cari saja sekolah swasta yang bonafit. Kalau seperti ini, dimungkinkan ada paradigma sekolah gratis hanya untuk mereka yang tidak mampu dan bodoh. Apakah sekolah gratis bermaksud seperti itu? Bisa "ya" bisa "tidak", itulah jawabnya.

FITUR KEBAHASAAN PADA GENRE TEKS

Kaidah Kebahasaan pada Pembelajaran Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA diarahkan pada pengembangan ...