Syair
Mbah Aceh
Berpuluh tahun Mbah Aceh merantau
Di
bumi Serambi Mekah yang berkilau
Sebagai transmigran dari sebrang pulau
Karna di bumi sendiri hidup kacau
Awalnya ia sangat sengsara
Membabad hutan belantara
Membuka
ladang membuka asa
Tuk
hidupi sanak keluarga
Biji
yang disemai mulai tumbuh
Ia
jaga dengan sungguh-sungguh
Ditunggu
sejak pagi menjelang subuh
Sampai
siang saat membasuh peluh
Tak
sia-sia ia membanting tulang
Lagu
riang mengumandang dari ladang
Sebagai
awal mula mendapat uang
Saat
jatah dari negri mulai terbang
Mbah Aceh tersenyum puas
Dia tak ingin
bermalas-malas
Juga tak ingin dimelas
Oleh negri yang punya alas
Anak isteri mulai dituruti
Kain
dan kebaya mulai diganti
Makan dan minum mulai bergizi
Aman tentramlah rasa di hati
Saat
derajat hendak meningkat
Datanglah
orang-orang keparat
Yang
kerasukan syetan laknat
Merampas
dan membunuh tanpa adat
Tunggang langganglah mereka
Selamatkan diri yang utama
Isteri entahlah ke mana
Anak dan menantu juga
Hanya
berbekal secarik kain
Ia harus rela dan yakin
Hanya satu yang dibatin
Tinggalkan
ladang beratus ubin
Daripada nyawa melayang
Mati hanya untuk ladang
Lebihlah baik ia pulang
Walaupun harus berpetualang
Entah ke mana ia berlari
Entah ke
mana ia bersembunyi
Tak tahu
arah, tak paham negeri
Yang
utama keselamatan diri
Di
pelabuhan ia bertemu
Dengan
istri yang sudah keju
Berjam-jam
setia menunggu
Dengan
rasa mengharu biru
Mereka bertemu soal
Yang tak bisa diakal
Memang mereka sedang sial
Tak sempat membawa sedikit pun bekal
Kepada
siapa harus meminta
Tak
ada sanak dan keluarga
Apakah
ada orang yang iba
Di
tengah-tengah hidup sengsara
Tuhan pengasih dan penyayang
Bertemulah seorang berhati lapang
Walau sendiri sedang gersang
Saudara-saudaranya terhunus pedang
Persamaan
nasib jadi berarti
Membawanya
sampai negri sendiri
Walau
dengan berbagai rasa hati
Semua
itu harus disyukuri
Di negri sendiri jadi merana
Rumah sudah tak lagi ada
Tanah juga sudah tiada
Buat modal membuka asa
Seorang
tetangga berhati mulia
Meminjamkan
rumah sementara
Sampai
mereka dapat usaha
Sebagai
pengganti rasa kecewa
Air matanya tak henti mengalir
Bila teringat hidup yang anyir
Liku-liku, pahit, dan getir
Yang tiada pernah terpikir
Gigih
membantu tuntaskan lara
Dibangun
gubug di belakang musala
Untuk
Mbah Aceh pejamkan mata
Mulailah ia menata hidup
Dari berbekal seperti kuncup
Bagai dian yang sudah redup
Ibarat ia sudah basah kuyup
Allah
mahakasih dan sayang
Yang
selalu bimbing orang
Yang
setia dan yang malang
Jangan
anggap seperti dibuang
Ada jalan karna ikhtiar
Serta beribu-ribu sabar
Jadilah hidup yang berkobar
’Tuk menuju alam khabar
Babakan, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Anda berkomentar! Komentar Anda bermanfaat bagi kami. Komentar Anda tidak mengurangi apa pun bagi Anda.