Nyerempet *)
Joko Rusmanto
“Braak! Braak! Braak!” Itulah suara seorang pengendara motor berboncengan memukul-mukulkan helemnya ke kaca bus yang kutumpangi. Jelaslah, semua penumpang terkejut. Penumpang yang sedang duduk menjadi bangkit lalu segera mengarahkan matanya kepada pengendara motor yang sedang melaju menjejer bus tepat di sebelah kanan pintu sopir. Beberapa penumpang yang tengah tertidur juga bangkit lalu mencari-cari sumber keributan. Entah berapa kali pengendara tadi memukul-mukulkan helemnya sambil berteriak-teriak “Bajingan, turun kamu, bangsaat, berhentiii!” Aku mulai panik, ada apa ini. Tiba-tiba saja dua orang pengendara sepeda motor menjejer dan memukul-mukul kaca bus. Aku bersiap-siap untuk mengangkat tas kalau-kalau ada sesuatu bahaya, aku tinggal berlari saja. Kebetulan aku berdiri agak dekat dengan pintu. Memang, saat aku naik, bus ini sudah sesak oleh penumpang, sehingga aku berdiri saja.
Sopir bus itu belum juga menghentikan laju bus. Seseorang yang duduk di dekat sopir sudah mencoba untuk membujuk sopir agar berhenti. Akan tetapi, sopir bus itu tetap melajukan busnya. Dua pengendara itu mengurangi kecepatan, lalu mengambil posisi di belakang bus karena dari arah berlawanan ada sebuah truk. Hampir semua penumpang bus berdiri menyaksikan dua pengendara motor itu. Dua pengendara motor itu berubah menyalip dari arah kiri. Namun sayang, ketika pengendara sedang menyalip dari kiri, sopir bus meminggirkan busnya karena dari arah lawan ada sebuah bus yang sedang melintas. Kontan saja pengendara motor itu harus turun dari bahu jalan. Saking emosinya, pengendara itu tak bisa mengendalikan motornya. Stang motor menyentuh bodi bus, lalu oleng-oleng “kraak kraaak”. Roda depan sepeda motor tergerus roda bus bagian belakang. Dua pengendara itu langsung refleks salto walaupun akhirnya wajah satu orang dari mereka membentur pohon mahoni.
Semua penumpang tegang dan panik. Dua orang pengendara itu bangkit lalu mengejar bus. Sopir bus tampak gugup. Dari mulutnya keluar kata-kata “astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah”. Seseorang membujuk sopir untuk berhenti.
“Hati-hati, Pak! Sabar mawon” kata lelaki yang duduk di depan.
“Pak sopir! Jangan turun dulu, biar dia agak reda!” kata seorang ibu yang berdiri di depanku dengan gemetar.
“Ya Pak, ya Pak ...!” sahut kami.
Tiba-tiba satu orang dari dua pengendara itu telah menghadang persis di depan bus. Bus pun berhenti. Orang tadi langsung mendekati sopir.
“Keluar, bangsaat! Cepaaat! Pateni sisan. Kurang ajar!”
“Bug, praang ...” kaca jendela dekat sopir hancur dipukul dengan helem. Perlahan sopir bus pun turun, tangannya menggapai-gapai handel pintu sambil mulutnya memohon-mohon maaf dan ampun. “Ampun Pak, Pangapura Pak. Ampun ...!” Belum sampai kaki sopir ke tanah, ia sudah dijemput, diraih, dan disekap, lalu hujan bogem pun turun bertubi-tubi ke arah wajah Pak Sopir. “bug, bug, bug” Pak sopir tetap memohon ampun. Permohonan itu tak digubris. Dua orang itu tambah kesetanan, terus saja melayangkan tinjunya. Tak puas menggunakan tangan, mereka menggunakan helemnya untuk memukul.
Satu per satu penumpang turun sambil tergesa-gesa. Mereka berebut pintu untuk keluar. Barangkali mereka berpikir sama denganku, yaitu takut kalau bus ini akan dibakar atau mungkin dihancurkan. Dengan memperhatikan keberingasan pengendara tadi, risiko jelek apa pun bisa terjadi dan menimpa kepada orang satu bus yang tidak tahu menahu tentang sebab musababnya persitiwa ini.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba sekawanan mereka sudah berkumpul, dan langsung satu per satu memberikan pukulan kepada Pak Sopir. Dari bodi-bodi dan pakaian mereka aku menduga kalau mereka adalah para tentara, rambutnya cepak-cepak, kulitnya coklat, tubuhnya kekar-kekar. Ya, mereka adalah tentara yang baru pulang dari pertemuan.
Pak sopir terjatuh setelah dipukul perutnya oleh seorang tentara yang baru datang. Penumpang bus sudah berada di luar. Tak ada satu pun di dalam. Mereka takut kalau-kalau busnya dibakar. Aku agak menjauh. Rasa takut dan kasihan membuatku gemetar. Kudengar seseorang penumpang mencoba mengingatkan mereka. Namun, bukan kalimat jawabnya. Akan tetapi, kepretan tangan yang mendarat di wajahnya. Semua terdiam, membisu, takut, juga iba kepada Pak Sopir yang sudah terkapar tidak bergerak. Aku seperti tidak melihat manusia, tetapi menyaksikan iblis yang sedang murka. Tak ada rasa kasihan sedikit pun di hati mereka. Tak ada ampun. Sepertinya Pak Sopir harus mati. Sepertinya juga, mereka merasa bagai malaikat pencabut nyawa.
“Mana kondektur dan kernetnya?” bentak seorang yang memukul Pak sopir terakhir. Matanya merah dan menyorotkan dendam, ekspresi marah sedang mengklimaks. Sambil berputar-putar mencari-cari kondektur bus. Tibalah ia di depanku
“Mana kondekturnya, Mas?” tanya lelaki itu kepadaku. Aku hanya menggelengkan kepala. Jawabanku hanya mengendon di dada, tak sampai di bibir. Aku sebenarnya marah, nuraniku berontak. Aku tak bisa mencegah kejadian ini. Kelihatannya kalau aku melerai, pasti aku tak bisa pulang dengan selamat. Yah, paling tidak bengkak-bengkak wajahku. “Sungguh mereka itu iblis, manusia berroh iblis” gerutuku dalam hati.
Ke mana kondektur bus ini, juga kernetnya? Aku belum hafal betul kondektur dan kernetnya. Aku baru seperempat jam di bus ini. Baru saja tadi ia menarik ongkosku. “:Sialan!” gerutuku lagi.
“Pak, njenengan tahu kondektur dan keneknya?” tanyaku pada lelaki di sebelahku.
“Wah, ngga hafal, Mas. Biasanya kalau ada seperti ini, kondektur dan kernetnya kabur.
“Aduh, berarti .....”
Aku menyetop pembicaraan dan segera melanjutkannya di dalam hati. Tiba-tiba kulihat seseorang dari mereka membimbing Pak Sopir untuk duduk. Wajah Pak Sopir biru kemerahan, dari hidungnya mengalir darah. Bibirnya pecah-pecah dan bengkak, dari sudut mulutnya mengalir darah. Matanya tertutup pelipis yang bengkak dan lebam.
Aku tak habis pikir. Masa dalam era seperti ini masih ada manusia seperti itu. Sayang, HP-ku tak berkamera. Coba, kalau HP-ku berkamera, pasti aku sudah mengambil adegan tadi dan selanjutnya aku laporkan penganiayaan ini. Tapi, belum tentu juga. Kalaupun HP-ku berkamera dan aku mengambil gambarnya, pasti kalau mereka tahu, mereka akan membanting HP-ku dan memberi bonus bogem. Hii, ngeri juga.
Sekawanan tentara itu masih marah, wajahnya berkerut, ekspresinya sadis. Seseorang dari mereka membimbing Pak Sopir untuk berdiri, lalu memapahnya dengan paksa ke arah sebuah sepeda motor yang sejak tadi berada di bahu jalan. Pak Sopir dinaikkan ke atas motor itu. Tanpa kata-kata apa pun, para tentara itu membawanya entah ke mana. Tidak ada yang tahu.
“Jangan-jangan Pak Sopir dibawa ke Batalyon untuk bulan-bulanan di sana!” kata lelaki yang di belakangku.
“Ke Polsek, kali” sahut ibu berbaju hijau yang sejak tadi duduk di atas batu.
“Terus, kita bagaimana? Sopirnya dibawa, kondektur dan kernetnya tidak ada!”
“Ya, musibah, Mas” jawab seseorang.
Wajah-wajah penumpang bus menjadi kecewa. Ada yang ngomel, ada yang diam. Aku memilih diam, walau sebenarnya aku juga kecewa dengan peristiwa ini. Aku sudah pasti terlambat sampai di rumah. Lagi pula, aku harus mengeluarkan ongkos lagi untuk sampai di rumah. Wajah anak-anakku terbayang. Wajah-wajah itulah yang mampu menghilangkan kekecewaan ini dan memotivasi langkahku ke bus yang lain.
*) diadaptasi dari antologi "Kepak-Kepak Pipit"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Anda berkomentar! Komentar Anda bermanfaat bagi kami. Komentar Anda tidak mengurangi apa pun bagi Anda.