Kamis, 03 September 2009

Pembelajaran


-->
Remedi dan Belajar Tuntas
  1. Latar Belakang
Dalam kegiatan pembelajaran termasuk pembelajaran mandiri selalu dijumpai adanya peserta didik yang mengalami kesulitan dalam mencapai standar kompetensi, kompetensi dasar dan penguasaan materi pembelajaran yang telah ditentukan. Secara garis besar kesulitan dimaksud dapat berupa kurangnya pengetahuan prasyarat, kesulitan memahami materi pembelajaran, maupun kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas latihan dan menyelesaikan soal-soal ulangan. Secara khusus, kesulitan yang dijumpai peserta didik dapat berupa tidak dikuasainya kompetensi dasar mata pelajaran tertentu, misalnya operasi bilangan dalam matematika; atau membaca dan menulis dalam pelajaran bahasa. Agar peserta didik dapat memecahkan kesulitan tersebut perlu adanya bantuan. Bantuan dimaksud berupa pemberian pembelajaran remedial atau perbaikan. Untuk keperluan pemberian pembelajaran remedial perlu dipilih strategi dan langkah-langkah yang tepat setelah terlebih dahulu diadakan diagnosis terhadap kesulitan belajar yang dialami peserta didik.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, satuan pendidikan perlu menyusun rencana sistematis pemberian pembelajaran remedial untuk membantu mengatasi kesulitan belajar peserta didik.

B. Tujuan
1. Memberikan layanan optimal kepada siswa melalui proses pembelajaran remedial.
2. Terlaksananya konsep belajar tuntas.

C. Konsep remedial
Pembelajaran remedial merupakan layanan pendidikan yang diberikan kepada peserta didik untuk memperbaiki prestasi belajarnya sehingga mencapai kriteria ketuntasan yang ditetapkan. Untuk memahami konsep penyelenggaraan model pembelajaran remedial, terlebih dahulu perlu diperhatikan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diberlakukan berdasarkan Permendiknas 22, 23, 24 Tahun 2006 dan Permendiknas No. 6 Tahun 2007 menerapkan sistem pembelajaran berbasis kompetensi, sistem belajar tuntas, dan sistem pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individual peserta didik. Sistem dimaksud ditandai dengan dirumuskannya secara jelas standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang harus dikuasai peserta didik. Penguasaan SK dan KD setiap peserta didik diukur menggunakan sistem penilaian acuan kriteria. Jika seorang peserta didik mencapai standar tertentu maka peserta didik dinyatakan telah mencapai ketuntasan.
Pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi dan pembelajaran tuntas, dimulai dari penilaian kemampuan awal peserta didik terhadap kompetensi atau materi yang akan dipelajari. Kemudian dilaksanakan pembelajaran menggunakan berbagai metode seperti ceramah, demonstrasi, pembelajaran kolaboratif/kooperatif, inkuiri, diskoveri, dsb. Melengkapi metode pembelajaran digunakan juga berbagai media seperti media audio, video, dan audiovisual dalam berbagai format, mulai dari kaset audio, slide, video, komputer, multimedia, dsb. Di tengah pelaksanaan pembelajaran atau pada saat kegiatan pembelajaran sedang berlangsung, diadakan penilaian proses menggunakan berbagai teknik dan instrumen dengan tujuan untuk mengetahui kemajuan belajar serta seberapa jauh penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang telah atau sedang dipelajari. Pada akhir program pembelajaran, diadakan penilaian yang lebih formal berupa ulangan harian. Ulangan harian dimaksudkan untuk menentukan tingkat pencapaian belajar peserta didik, apakah seorang peserta didik gagal atau berhasil mencapai tingkat penguasaan tertentu yang telah dirumuskan pada saat pembelajaran direncanakan.
Apabila dijumpai adanya peserta didik yang tidak mencapai penguasaan kompetensi yang telah ditentukan, maka muncul permasalahan mengenai apa yang harus dilakukan oleh pendidik. Salah satu tindakan yang diperlukan adalah pemberian program pembelajaran remedial atau perbaikan. Dengan kata lain, remedial diperlukan bagi peserta didik yang belum mencapai kemampuan minimal yang ditetapkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Pemberian program pembelajaran remedial didasarkan atas latar belakang bahwa pendidik perlu memperhatikan perbedaan individual peserta didik.
Dengan diberikannya pembelajaran remedial bagi peserta didik yang belum mencapai tingkat ketuntasan belajar, maka peserta didik ini memerlukan waktu lebih lama daripada mereka yang telah mencapai tingkat penguasaan. Mereka juga perlu menempuh penilaian kembali setelah mendapatkan program pembelajaran remedial.

D. Prinsip Pembelajaran Remedial
Pembelajaran remedial merupakan pemberian perlakuan khusus terhadap peserta didik yang mengalami hambatan dalam kegiatan belajarnya. Hambatan yang terjadi dapat berupa kurangnya pengetahuan dan keterampilan prasyarat atau lambat dalam mecapai kompetensi. Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran remedial sesuai dengan sifatnya sebagai pelayanan khusus antara lain:
1. Adaptif
Setiap peserta didik memiliki keunikan sendiri-sendiri. Oleh karena itu program pembelajaran remedial hendaknya memungkinkan peserta didik untuk belajar sesuai dengan kecepatan, kesempatan, dan gaya belajar masing-masing. Dengan kata lain, pembelajaran remedial harus mengakomodasi perbedaan individual peserta didik.
2. Interaktif
Pembelajaran remedial hendaknya memungkinkan peserta didik untuk secara intensif berinteraksi dengan pendidik dan sumber belajar yang tersedia. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kegiatan belajar peserta didik yang bersifat perbaikan perlu selalu mendapatkan monitoring dan pengawasan agar diketahui kemajuan belajarnya. Jika dijumpai adanya peserta didik yang mengalami kesulitan segera diberikan bantuan.
3. Fleksibilitas dalam Metode Pembelajaran dan Penilaian
Sejalan dengan sifat keunikan dan kesulitan belajar peserta didik yang berbeda-beda, maka dalam pembelajaran remedial perlu digunakan berbagai metode mengajar dan metode penilaian yang sesuai dengan karakteristik peserta didik.
4. Pemberian Umpan Balik Sesegera Mungkin
Umpan balik berupa informasi yang diberikan kepada peserta didik mengenai kemajuan belajarnya perlu diberikan sesegera mungkin. Umpan balik dapat bersifat korektif maupun konfirmatif. Dengan sesegera mungkin memberikan umpan balik dapat dihindari kekeliruan belajar yang berlarut-larut yang dialami peserta didik.
5. Kesinambungan dan Ketersediaan dalam Pemberian Pelayanan
Program pembelajaran reguler dengan pembelajaran remedial merupakan satu kesatuan, dengan demikian program pembelajaran reguler dengan remedial harus berkesinambungan dan programnya selalu tersedia agar setiap saat peserta didik dapat mengaksesnya sesuai dengan kesempatan masing-masing.

F. Bentuk Kegiatan Remedial
Dengan memperhatikan pengertian dan prinsip pembelajaran remedial tersebut, maka pembelajaran remedial dapat diselenggarakan dengan berbagai kegiatan antara lain:
1. Memberikan tambahan penjelasan atau contoh
Peserta didik kadang-kadang mengalami kesulitan memahami penyampaian materi pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang disajikan hanya sekali, apalagi kurang ilustrasi dan contoh. Pemberian tambahan ilustrasi, contoh dan bukan contoh untuk pembelajaran konsep misalnya akan membantu pembentukan konsep pada diri peserta didik.
2. Menggunakan strategi pembelajaran yang berbeda dengan sebelumnya
Penggunaan alternatif berbagai strategi pembelajaran akan memungkinkan peserta didik dapat mengatasi masalah pembelajaran yang dihadapi.
3. Mengkaji ulang pembelajaran yang lalu.
Penerapan prinsip pengulangan dalam pembelajaran akan membantu peserta didik menangkap pesan pembelajaran. Pengulangan dapat dilakukan dengan menggunakan metode dan media yang sama atau metode dan media yang berbeda.
4. Menggunakan berbagai jenis media
Penggunaan berbagai jenis media dapat menarik perhatian peserta didik. Perhatian memegang peranan penting dalam proses pembelajaran. Semakin memperhatikan, hasil belajar akan lebih baik. Namun peserta didik seringkali mengalami kesulitan untuk memperhatikan atau berkonsentrasi dalam waktu yang lama. Agar perhatian peserta didik terkonsentrasi pada materi pelajaran perlu digunakan berbagai media untuk mengendalikan perhatian peserta didik.


G. Pelaksanaan
Terdapat beberapa alternatif berkenaan dengan waktu atau kapan pembelajaran remedial dilaksanakan. Pertanyaan yang timbul, apakah pembelajaran remedial diberikan pada setiap akhir ulangan harian, mingguan, akhir bulan, tengah semester, atau akhir semester. Ataukah pembelajaran remedial itu diberikan setelah peserta didik mempelajari SK atau KD tertentu? Pembelajaran remedial dapat diberikan setelah peserta didik mempelajari KD tertentu. Namun karena dalam setiap SK terdapat beberapa KD, maka terlalu sulit bagi pendidik untuk melaksanakan pembelajaran remedial setiap selesai mempelajari KD tertentu. Mengingat indikator keberhasilan belajar peserta didik adalah tingkat ketuntasan dalam mencapai SK yang terdiri dari beberapa KD, maka pembelajaran remedial dapat juga diberikan setelah peserta didik menempuh tes SK yang terdiri dari beberapa KD. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa SK merupakan satu kebulatan kemampuan yang terdiri dari beberapa KD. Mereka yang belum mencapai penguasaan SK tertentu perlu mengikuti program pembelajaran remedial. Waktu penyelenggaraan remedial adalah sore hari di luar jam tatap muka.

Esai


-->
Menciptakan Sportifitas Pelajar melalui Perencanaan
Setiap guru pasti menginginkan peserta didiknya sportif, tidak main curang, dan penuh percaya diri pada saat evaluasi. Namun, kenyataannya banyak siswa tidak sportif saat kegiatan evaluasi dilaksanakan. Mereka melakukan hal-hal yang tercela, seperti: mencontek jawaban teman, membuka-buka buku, membaca contekan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Sepandai-pandainya guru mengawasi, masih lebih pandai peserta didik untuk berbuat curang.
Masalah di atas merupakan fenomena yang terjadi di dunia pendidikan kita, mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Sepintas tampak sepele kelihatannya. Namun, kalau ditelusuri dampaknya sungguh luar biasa. Siswa yang biasa berbuat curang dengan cara mencontek akan berdampak dalam kehidupan sehari-hari. Ia cenderung menghalalkan segala cara demi memenuhi satu tujuan. Di samping itu, siswa yang biasa tidak sportif ini, sulit untuk mandiri dan cenderung kehilangan rasa percaya diri. Tidak berlebihan jika seorang pengamat politik dan anggota ICW mengatakan bahwa korupsi yang dilakukan oleh birokrat sudah diawali saat mereka menjadi pelajar, yaitu kebiasaan mencontek saat ulangan. Kalau 20 % saja dari jumlah pelajar tingkat dasar dan mahasiswa mempunyai kebiasaan mencontek, bagaimana jadinya negeri ini? Koruptor semakin banyak. Rakyat kehilangan inisiatif, percaya diri hilang, negara kita selalu menjadi plagiat. Sungguh mengerikan!
Berdasarkan fenomena di atas, kiranya tidak berlebihan jika kecurangan-kecurangan pelajar dan mahasiswa saat evaluasi dikategorikan perbuatan kriminal, yakni kriminal di dunia pendidikan. Hanya saja, kriminal ini dampaknya dapat dirasakan setelah sekian lama, tidak langsung.
Kekhawatiran seperti diuraikan di atas dapat dihindari atau paling tidak diminimalisasi. Upaya-upaya apa saja yang dapat ditempuh oleh dunia pendidikan kita untuk menciptakan manusia-manusia yang sportif dan jujur? Dengan pengawasan yang ketat saja tidaklah cukup.
Upaya-upaya menciptakan sportifitas
Sebelum menjabarkan upaya-upaya yang dapat ditempuh untuk menghindari kecurangan dan tidak sportif di kalangan pelajar dan mahasiswa ini, penulis ingin menyampaikan bahwa permasalahan ini penyebabnya sangat kompleks, bahkan sampai kepada sistem di dunia pendidikan Indonesia. Oleh karena itu, berbagai sudut perlu dijelaskan. Upaya-upaya menciptakan sportifitas itu ialah:
1. Menciptakan kurikulum yang berorientasi pada kompetensi dan skill
Kurikulum merupakan kunci keberhasilan pendidikan di suatu negara. Kurikulum yang berorientasi pada kompetensi dapat menciptakan manusia-manusia yang mampu memecahkan masalah, mandiri, dan terampil mengaplikasikan ilmu dalam rangka memenuhi hidupnya. Kurikulum ini juga mampu menciptakan manusia-manusia yang memiliki kecakapan hidup. Untuk hal ini, kita sudah punya kurikulum yang demikian, yaitu kurikulum 2006 atau KTSP. Hanya saja penjabaran di masing-masing tingkat satuan pendidikan harus betul-betul diorientasikan pada kompetensi, keterampilan, dan aplikasi. Dengan kurikulum ini, siswa tidak dibebani materi-materi yang bersifat kognitif semata.
Kurikulum yang berorientasi pada materi atau kognitif hanya menciptakan manusia-manusia pembeo dan penghafal. Bila suatu saat mereka menemukan masalah, mereka tidak dapat memecahkannya karena di memori hafalannya tidak tercantum. Seseorang yang tidak memiliki daya hafal yang bagus saat evaluasi cenderung berbuat curang, seperti: membuat contekan, mencontoh jawaban teman, dan spekulasi. Akan tetapi, dengan kurikulum yang berorientasi pada kompetensi hal itu tidak akan terjadi.
2. Mengubah paradigma dan cara mengajar guru
Guru tradisional biasanya dalam mengajar selalu berorientasi pada materi walaupun kurikulumnya berorientasi pada kompetensi. Guru tradisional adalah aktor utama di kelas, ia merasa dirinya adalah orang paling pandai di kelas. Ia berfungsi sebagai penyalur ilmu pengetahuan yang handal. Namun, semua itu hanya menciptakan siswa-siswa penghafal.
Kurikulum yang baik harus didukung pula oleh para guru. Dukungan itu berupa penyesuaian paradigma dan cara mengajar. Guru harus mengubah paradigma lama. Ia bukanlah aktor utama tetapi sutradara yang lihai. Sebagai sutradara, ia dituntut kreatif untuk menciptakan situasi belajar. Selain sebagai sutradara, ia adalah motivator dan fasilitator.
Cara mengajar guru harus berubah. Pada saat kurikulumnya berorientasi pada materi, guru mendominasi KBM dengan metode ceramahnya. Akan tetapi, ketika kurikulumnya berorientasi pada kompetensi, mestinya ia memfokuskan pencapaian kompetensi siswa. Kemampuan apakah yang sudah dimiliki oleh seorang siswa kaitannya dengan sebuah materi itu? Untuk ke arah itu guru perlu membimbing ke arah pencapaian kompetensi.
Salah satu cara untuk mempermudah pencapaian kompetensi bagi siswa ialah dengan metode kontekstual. Kontekstual adalah suatu metode penciptaan alam nyata dalam KBM. Kelas diatur sedemikian rupa seperti di alam nyata. Contohnya dalam pengajaran demokrasi. Untuk mengajarkan demokrasi, guru perlu menciptakan kegiatan-kegiatan demokrasi praktis di kelas, seperti: mengadakan musyawarah, rapat, atau pemilihan kepala desa. Jadi, bukan teori-teori atau pengetahuan tentang demokrasi saja.
3. Menyusun alat evaluasi yang mengukur kompetensi siswa
Alat evaluasi berupa soal-soal sangat menentukan siswa itu sportif atau tidak. Soal-soal yang bersifat hafalah (kognitif) cenderung menyebabkan siswa tidak kreatif dan terkekang. Oleh karena itu, mereka yang daya hafalnya terbatas, cenderung akan bermain curang. Bentuk-bentuk kecurangannya antara lain: membuat contekan dan membukanya, mencontek pekerjaan teman, dan bekerja sama dengan teman.
Sebaliknya, soal-soal yang mengukur kompetensi sangat menampung kreatifitas siswa sehingga siswa tidak terkekang dengan hafalannya. Ia cenderung bebas tapi kreatif.
Contoh
  1. Jelaskan apa yang dimaksud kalimat majemuk bertingkat itu? (berorientasi materi)
  2. Buatlah sebuah kalimat majemuk bertingkat dengan anak kalimat menyatakan hubungan pengandaian! (berorientasi kompetensi)
4. Mengubah paradigma siswa tentang KBM
Paradigma lama tentang KBM bagi siswa ialah siswa duduk dengan manis, mendengarkan penjelasan guru, mencatat, lalu mempelajarainya di rumah. Paradigma ini menanamkan prinsip pada siswa mengenai perolehan kemampuan saat KBM “Apa yang bisa saya catat dari sesorang guru, apa yang diberikan oleh guru”. Mestinya tidak demikian, siswa harus aktif, kreatif, dan inovatif. Biasakan siswa berprinsip saat KBM “apa yang bisa saya perbuat dengan materi itu, apa manfaatnya bagi kehidupan, bagaimana cara mengaplikasikannya.”
Penulis meyakini bahwa paradigma seperti diilustrasikan di atas masih membelenggu para pelajar kita. Mereka dari rumah ingin mendapat catatan yang banyak supaya menjelang ulangan bisa membacanya, lalu mendapat angka ulangan yang memuaskan. Setelah mendapat angka bagus, mereka tidak dapat apa-apa, kecuali angka itu sendiri. Mungkin angka-angka itulah yang akan menemani hidupnya, menjawab tantangan kehidupan yang terus merumit. Apakah itu ilmu pengetahuan?
Ditulis Sept. 2008

Esai

Indonesia Menantang

Reformasi telah digulirkan dengan sangat berat dengan jalan yang terseok-seok. Ibarat suatu kelahiran adalah kelahiran yang prematur. Sungguh reformasi telah lahir prematur dan bayinya pun tidak sehat, sakit-sakitan, bahkan tidak ada tanda-tanda berkembang. Bayi yang bernama reformasi ini justru jalan di tempat. Banyak tantangan dari keluarga dan tetangga. Kelahilan reformasi tidak diharapkan oleh anggota keluarga yang lain, terutama kakak-kakaknya. Reformasi hanya didukung oleh sedikit adik-adik yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari.Reformasi Indonesia telah hambar. Reformasi Indonesia telah menguap. Banyak penentang reformasi, sedikit pendukung. Apalagi tetangga jauhnya selalu mengintai, memata-matai, mendustai, bermulut manis. Di depan seolah teman yang selalu mendukung, tetapi di belakang dengan berbagai cara kekuatannya yang otoriter berusaha mematikan, membunuh, menghancurkan, dan mencerai-beraikan INDONESIA tanpa ampun.

Mulai era tahun 2000-an bangsa Indonesia mulai bertingkah aneh. Di saat reformis mulai berjalan, justru muncul kejadian-kejadian yang menantang dan ditonjolkan di depan mata kita. Para penantang reformasi seperti tikus yang hendak diracun. Ketika racun telah digelar, mereka malah berbondong-bondong mencuri nasi dan lain-lain dari dapur sehingga bukan racun yang dikunyah, melainkan makanan-makanan lezat yang disantap. Ini merupakan analog dari kejadian-kejadian pemberantasan korupsi. Ketika Teten Mazduki dan kawan-kawan melawan koruptor, malah para koruptor semakin banyak mencuri dan jumlahnya semakin banyak, “Masya Allah”. Lebih menggila mereka karena tidak secara sembunyi-sembunyi, tetapi secara kasat mata. Korupsi hampir menjadi kegiatan yang meimbulkan kecemburuan. Orang yang tidak melakukan korupsi lalu cemburu dan ia ingin melakukan. Akhirnya, hampir semua lini dipenuhi kejadian korupsi. Pejabat, penegak hukum, pelaksana hukum tergiur untuk korupsi karena cemburu. Kecemburuan juga terjadi pada rakyat kelas bawah. Perhatian saja saat pilihan kepala desa misalnya, “wong ndeso” ini enggan mencoblos kalau tidak dikasih uang atau nasi dari calon atau panitia. Wabah korupsi, kolusi, dan nepotisme telah menjamur sampai masyarakat lini bawah. Gaya korupsi yang sedang klimaks adalah korupsi kolektif atau korupsi rombongan yang dilakukan legislatif. Belum korupsi yang dilakukan lintas departemen yang semua membentuk mata rantai yang sulit dirunut. Anehnya lagi, korupsi kok terjadi di legislatif. Banyak anggota legislatif tidak tahu dan tidak sadar telah melakukan korupsi. Konon, siapa ujungnya dan siapa pangkalnya tida jelas, susah diteropong dengan mata. Suatu saat tiba-tiba anggota legislatif dikejutkan dengan pemberian amplop yang tidak jelas sumbernya. Yang tahu sumbernya hanya beberapa orang saja, tapi mereka bungkam dan menguburnya dalam-dalam. Amplop-amplop yang bertebaran di ruang legislatif seperti turun dari langit begitu saja. Sebenarnya, itu uang-uang hasil korupsi atau kejahatan yang digunakan untuk tutup mulut para anggota legislatif. Kalau begitu, mereka tanpa sadar mulutnya telah disumpal oleh siluman-siluman berhati bejat.

Keanehan berikutnya terjadi pada rakyat jelata, rakyat pecinta hal-hal seronok. Aneh, ketika sekelompok orang peduli moral dan sosial menantang pornografi dan pornoaksi, semakin marak pornoaksi di sekitar kita. Lihat saja pemberitaan kasus-kasus tentang goyang dangdut, betapa maraknya. Pasca pengesahan UU Pornografi dan Pornoaksi, kegiatan yang berbau porno bukannya reda atau berkurang, melainkan semakin merajalela, meningkat, dan celakanya lagi semakin berani. Lihat kasus di panggung organ tunggal di Ternate, Cirebon, dan lain-lain. Kenjludrahan penyanyi dangdut amatiran sudah tidak bisa ditoleransi, karena mereka bersaru ria di depan mata anak-anak di bawah umur. Itu semua hanya demi saweran.

Kasus goyang erotis di depan publik disponsori oleh Inul Daratista. Saat itu keanehan pun terjadi. Di saat goyang yang bikin heboh itu dtentang oleh sejumlah orang mulia, seorang kyai memimpin untuk mendukung keerotisan di mata umum. Kalau yang mendukung itu orang-orang abangan dapat dimaklumi mereka, tetapi kali ini yang mendukung adalah seorang Romo Kyai panutan se-Jawa. Aneh kan! Di mana pertimbangan akhiratnya. Sekulerkah kita?

Keanehan berikutnya, ketika pemerintah baru sadar untuk menyatukan umat yang berbeda-beda keyakinan, perang lintas agama terjadi, muncul aliran-aliran sesat. Zaman sudah sore begini ada orang yang berikrar bahwa dirinya nabi penerus Muhammad. Edan kan zaman ini?
Ditulis tgl 10 Agustus 2008

Esai


-->
Lo Ama Gue Juga Bahasaku
Pengajaran bahasa Indonesia bertujuan melestarikan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang dimaksud adalah bahasa Indonesia yang berbagai ragam itu. Dalam perjalanannya ternyata terjadi salah tafsir. Para siswa menafsirkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa ragam baku yang kaku dan banyak persyaratan. Padahal, kenyataan bukan hanya itu.
Bahasa Indonesia kaya akan ragam. Karena keanekaragaman inilah tercipta falsafah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar. Akan tetapi, dengan falsafah ini pun masih banyak penutur bahasa – termasuk siswa sekolah- salah menafsirkan. Lagi-lagi falsafah ini diterjemahkan menjadi bahasa baku. Dari beberapa studi tentang Apa itu bahasa Indonesia yang baik dan benar? Jawabnya adalah bahasa Indonesia yang baku.
Bahasa Indonesia baku merupakan bagian dari bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seseorang harus tahu kapan ia harus berbahasa baku dan kapan pula ia tidak harus menggunakannya. Bila penutur bahasa sudah bisa berpikir dan bertindak seperti ini, falsafah bahasa Indonesia yang baik dan benar sudah dapat diresapi oleh mereka.
Pemahaman bahasa Indonesia yang baik dan benar memperluas wawasan kebahasaan penutur. Dengan pemahaman yang mendalam, para penutur bahasa akan menerima lo ama gue sebagai kekayaan bahasa. Juga, tuturan-tuturan remaja di berbagai sinetron tidak dikatakan merusak bahasa. Justru, memperkaya bahasa Indonesia.

FITUR KEBAHASAAN PADA GENRE TEKS

Kaidah Kebahasaan pada Pembelajaran Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA diarahkan pada pengembangan ...