Kamis, 03 September 2009

Esai


-->
Menciptakan Sportifitas Pelajar melalui Perencanaan
Setiap guru pasti menginginkan peserta didiknya sportif, tidak main curang, dan penuh percaya diri pada saat evaluasi. Namun, kenyataannya banyak siswa tidak sportif saat kegiatan evaluasi dilaksanakan. Mereka melakukan hal-hal yang tercela, seperti: mencontek jawaban teman, membuka-buka buku, membaca contekan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Sepandai-pandainya guru mengawasi, masih lebih pandai peserta didik untuk berbuat curang.
Masalah di atas merupakan fenomena yang terjadi di dunia pendidikan kita, mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Sepintas tampak sepele kelihatannya. Namun, kalau ditelusuri dampaknya sungguh luar biasa. Siswa yang biasa berbuat curang dengan cara mencontek akan berdampak dalam kehidupan sehari-hari. Ia cenderung menghalalkan segala cara demi memenuhi satu tujuan. Di samping itu, siswa yang biasa tidak sportif ini, sulit untuk mandiri dan cenderung kehilangan rasa percaya diri. Tidak berlebihan jika seorang pengamat politik dan anggota ICW mengatakan bahwa korupsi yang dilakukan oleh birokrat sudah diawali saat mereka menjadi pelajar, yaitu kebiasaan mencontek saat ulangan. Kalau 20 % saja dari jumlah pelajar tingkat dasar dan mahasiswa mempunyai kebiasaan mencontek, bagaimana jadinya negeri ini? Koruptor semakin banyak. Rakyat kehilangan inisiatif, percaya diri hilang, negara kita selalu menjadi plagiat. Sungguh mengerikan!
Berdasarkan fenomena di atas, kiranya tidak berlebihan jika kecurangan-kecurangan pelajar dan mahasiswa saat evaluasi dikategorikan perbuatan kriminal, yakni kriminal di dunia pendidikan. Hanya saja, kriminal ini dampaknya dapat dirasakan setelah sekian lama, tidak langsung.
Kekhawatiran seperti diuraikan di atas dapat dihindari atau paling tidak diminimalisasi. Upaya-upaya apa saja yang dapat ditempuh oleh dunia pendidikan kita untuk menciptakan manusia-manusia yang sportif dan jujur? Dengan pengawasan yang ketat saja tidaklah cukup.
Upaya-upaya menciptakan sportifitas
Sebelum menjabarkan upaya-upaya yang dapat ditempuh untuk menghindari kecurangan dan tidak sportif di kalangan pelajar dan mahasiswa ini, penulis ingin menyampaikan bahwa permasalahan ini penyebabnya sangat kompleks, bahkan sampai kepada sistem di dunia pendidikan Indonesia. Oleh karena itu, berbagai sudut perlu dijelaskan. Upaya-upaya menciptakan sportifitas itu ialah:
1. Menciptakan kurikulum yang berorientasi pada kompetensi dan skill
Kurikulum merupakan kunci keberhasilan pendidikan di suatu negara. Kurikulum yang berorientasi pada kompetensi dapat menciptakan manusia-manusia yang mampu memecahkan masalah, mandiri, dan terampil mengaplikasikan ilmu dalam rangka memenuhi hidupnya. Kurikulum ini juga mampu menciptakan manusia-manusia yang memiliki kecakapan hidup. Untuk hal ini, kita sudah punya kurikulum yang demikian, yaitu kurikulum 2006 atau KTSP. Hanya saja penjabaran di masing-masing tingkat satuan pendidikan harus betul-betul diorientasikan pada kompetensi, keterampilan, dan aplikasi. Dengan kurikulum ini, siswa tidak dibebani materi-materi yang bersifat kognitif semata.
Kurikulum yang berorientasi pada materi atau kognitif hanya menciptakan manusia-manusia pembeo dan penghafal. Bila suatu saat mereka menemukan masalah, mereka tidak dapat memecahkannya karena di memori hafalannya tidak tercantum. Seseorang yang tidak memiliki daya hafal yang bagus saat evaluasi cenderung berbuat curang, seperti: membuat contekan, mencontoh jawaban teman, dan spekulasi. Akan tetapi, dengan kurikulum yang berorientasi pada kompetensi hal itu tidak akan terjadi.
2. Mengubah paradigma dan cara mengajar guru
Guru tradisional biasanya dalam mengajar selalu berorientasi pada materi walaupun kurikulumnya berorientasi pada kompetensi. Guru tradisional adalah aktor utama di kelas, ia merasa dirinya adalah orang paling pandai di kelas. Ia berfungsi sebagai penyalur ilmu pengetahuan yang handal. Namun, semua itu hanya menciptakan siswa-siswa penghafal.
Kurikulum yang baik harus didukung pula oleh para guru. Dukungan itu berupa penyesuaian paradigma dan cara mengajar. Guru harus mengubah paradigma lama. Ia bukanlah aktor utama tetapi sutradara yang lihai. Sebagai sutradara, ia dituntut kreatif untuk menciptakan situasi belajar. Selain sebagai sutradara, ia adalah motivator dan fasilitator.
Cara mengajar guru harus berubah. Pada saat kurikulumnya berorientasi pada materi, guru mendominasi KBM dengan metode ceramahnya. Akan tetapi, ketika kurikulumnya berorientasi pada kompetensi, mestinya ia memfokuskan pencapaian kompetensi siswa. Kemampuan apakah yang sudah dimiliki oleh seorang siswa kaitannya dengan sebuah materi itu? Untuk ke arah itu guru perlu membimbing ke arah pencapaian kompetensi.
Salah satu cara untuk mempermudah pencapaian kompetensi bagi siswa ialah dengan metode kontekstual. Kontekstual adalah suatu metode penciptaan alam nyata dalam KBM. Kelas diatur sedemikian rupa seperti di alam nyata. Contohnya dalam pengajaran demokrasi. Untuk mengajarkan demokrasi, guru perlu menciptakan kegiatan-kegiatan demokrasi praktis di kelas, seperti: mengadakan musyawarah, rapat, atau pemilihan kepala desa. Jadi, bukan teori-teori atau pengetahuan tentang demokrasi saja.
3. Menyusun alat evaluasi yang mengukur kompetensi siswa
Alat evaluasi berupa soal-soal sangat menentukan siswa itu sportif atau tidak. Soal-soal yang bersifat hafalah (kognitif) cenderung menyebabkan siswa tidak kreatif dan terkekang. Oleh karena itu, mereka yang daya hafalnya terbatas, cenderung akan bermain curang. Bentuk-bentuk kecurangannya antara lain: membuat contekan dan membukanya, mencontek pekerjaan teman, dan bekerja sama dengan teman.
Sebaliknya, soal-soal yang mengukur kompetensi sangat menampung kreatifitas siswa sehingga siswa tidak terkekang dengan hafalannya. Ia cenderung bebas tapi kreatif.
Contoh
  1. Jelaskan apa yang dimaksud kalimat majemuk bertingkat itu? (berorientasi materi)
  2. Buatlah sebuah kalimat majemuk bertingkat dengan anak kalimat menyatakan hubungan pengandaian! (berorientasi kompetensi)
4. Mengubah paradigma siswa tentang KBM
Paradigma lama tentang KBM bagi siswa ialah siswa duduk dengan manis, mendengarkan penjelasan guru, mencatat, lalu mempelajarainya di rumah. Paradigma ini menanamkan prinsip pada siswa mengenai perolehan kemampuan saat KBM “Apa yang bisa saya catat dari sesorang guru, apa yang diberikan oleh guru”. Mestinya tidak demikian, siswa harus aktif, kreatif, dan inovatif. Biasakan siswa berprinsip saat KBM “apa yang bisa saya perbuat dengan materi itu, apa manfaatnya bagi kehidupan, bagaimana cara mengaplikasikannya.”
Penulis meyakini bahwa paradigma seperti diilustrasikan di atas masih membelenggu para pelajar kita. Mereka dari rumah ingin mendapat catatan yang banyak supaya menjelang ulangan bisa membacanya, lalu mendapat angka ulangan yang memuaskan. Setelah mendapat angka bagus, mereka tidak dapat apa-apa, kecuali angka itu sendiri. Mungkin angka-angka itulah yang akan menemani hidupnya, menjawab tantangan kehidupan yang terus merumit. Apakah itu ilmu pengetahuan?
Ditulis Sept. 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Anda berkomentar! Komentar Anda bermanfaat bagi kami. Komentar Anda tidak mengurangi apa pun bagi Anda.

FITUR KEBAHASAAN PADA GENRE TEKS

Kaidah Kebahasaan pada Pembelajaran Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA diarahkan pada pengembangan ...