Jumat, 20 Februari 2009

Membangun Kepercayaan

Membangun Kepercayaan

Kapan ujian nasional tanpa pengawas dapat dilaksanakan? Kapan bekerja tidak diawasi oleh mandor? Kapan ujian seleksi cpns dilaksanakan tanpa pengawas? Kapan penggunaan dana tidak perlu diaudit? Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin terlalu berlebihan karena hampir tidak mungkin dapat dijawab. Kalau dijawab,jJawabannya pun mungkin tidak jelas. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena selama ini memang pengawas ada di mana-mana. Mengapa masih ada pengawasan? Pengawasan muncul karena ada unsur yang sangat urgen, yaitu tidak adanya kepercayaan atau paling tidak ada rasa curiga. Pemerintah tidak percaya kalau siswa-siswa dapat jujur, tidak mencontek saat ujian. Mandor tidak percaya kalau pekerjanya bisa jujur, bisa bekerja dengan baik. Pemerintah tidak percaya kalau calon pegawai dapat jujur, tidak curang. Pemberi dana juga tidak percaya kalau pengguna dana dapat jujur menggunakan dana sesuai anggaran. Rupanya kita sudah lama dilanda ketidakpercayaan kepada orang lain. Kapan mulainya? I don't know. Pemerintah tidak percaya kepada rakyat. Demikian pula, rakyat tidak percaya kepada pemerintah, bahkan legislatifnya. Kalau begini memang ruwet jadinya. Kepercayaan menjadi sesuatu yang sangat mahal.
Dapat dibayangkan kalau ketidakpercayaan ini berlangsung di semua lini, semua jadi ruwet. Ketidakpercayaan dapat menjadi fenomena, tentunya bergilir menjadi budaya.
Biasanya orang yang mudah menaruh kepercayaan kepada orang lain, dapat dipastikan orang itu dapat dipercaya. Sebaliknya, orang yang selalu menaruh curiga dan tidak mudah percaya kepada orang lain dapat dipastikan bahwa orang itu tidak bisa dipercaya. Hukum kebalikan menjadi hal yang sangat lumrah.
Untuk terciptanya kepercayaan harus diawali dari dua unsur. Pemerintah harus percaya kepada rakyat. Sebaliknya, rakyat harus percaya kepada pemerintah. Keduanya harus bersama-sama menjaga kepercayaan itu.
Untuk menghilangkan krisis kepercayaan memang sesulit membalikkan telapak kaki. Kedua unsur harus berkomitmen, diawali dari hal yang kecil. Semuanya harus berorientasi ke alam sana. Artinya, untuk dapat terwujud kepercayaan perlu penguasaan faktor religius yang sesungguhnya. Selama unsur religius belum dipahami secara kafah, susah benar kepercayaan itu memasyarakat. Teori dan aplikasi dari unsur religius harus sejalan. Orang yang pandai ilmu agama, harus diimbangi dengan pengamalan secara konsisten. Tapi, kapan Indonesia akan begini? 100 tahun lagi, kali!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Anda berkomentar! Komentar Anda bermanfaat bagi kami. Komentar Anda tidak mengurangi apa pun bagi Anda.

FITUR KEBAHASAAN PADA GENRE TEKS

Kaidah Kebahasaan pada Pembelajaran Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA diarahkan pada pengembangan ...