Tingginya kasus kecelakaan lalulintas mesti harus disikapi. Bukan asal terjual laris roda-roda kendaraan. Bukan pula jalannya dipermulus. Satu solusi yang ditawarkan adalah pendidikan berlalu lintas.
Banyak pengendara - khususnya di kota-kota kecil - yang tidak layak mengendarai kendaraan di jalan raya. Entah siapa dia! Perawan pabrik atau anak-anak sekolahan. Lihat saja, kadang ada pengendara yang berjalan pelan dengan santainya di ruas tengah. Kadang ada pengendara yang nyalip dengan kecepatan yang lebih tinggi sedikit daripada yang disalib, lalu tiba-tiba setelah nyalip langsung zigzag ke depan yang disalip. Yang disalip pun kalang kabut injak rem. Ada lagi, pengendara menyalakan lampu zen ke kiri atau ke kanan sepanjang jalan. Mau ke mana dia? Tumbukan terjadi di tengah perempatan, padahal di situ ada lampu pengatur jalan yang menyala. Sedang enak-enaknya mulai menancap gas karena lampu hijau baru nyala, tiba-tiba tersentak oleh pengendara yang ujug-ujug nyelonong tanpa merasa bersalah, padahal ia mestinya saatnya berhenti karena lampu merah sudah menyala. Yang lebih menantang maut lagi, ketika pengendara sedang dalam keadaan berkonvoi, tiba-tiba tanpa menyalakan lampu zen, seorang pengendara belok ke kanan. Ada lagi, seorang pengendara dari jalan kecil tiba-tiba langsung masuk ke jalan raya tanpa tengak-tengok. Apa yang terjadi, pengendara yang berada di jalan raya langsung banting kemudi ke kanan. Demi menghindari, maut menjemput.
Kekonyolan-kekonyolan di atas sering kali terjadi. Mengapa? Sedikitnya ada dua hal. Pertama, pengendara yang melakukan kekonyolan itu tidak tahu etika berlalu lintas. Kedua, pengendara yang konyol itu belum punya jam terbang yang cukup layak. Kalau di kota-kota besar, hal itu jarang terjadi. Jadi, mereka yang sudah berpengalaman jam terbang berkendara di kota besar, tidak melakukan kekonyolan-kekonyolan.
Dua hal penyebab kekonyolan di atas dapat diminimalisasikan dengan pendidikan berlalu lintas. Entah secara formal maupun nonformal. Nyatanya, memang banyak orang yang mampu membeli kendaraan - terutama roda dua -, tetapi tidak layak untuk mengendarainya. Mereka butuh pendidikan berlalu lintas.
Selasa, 24 Februari 2009
Jumat, 20 Februari 2009
Membangun Kepercayaan
Membangun Kepercayaan
Kapan ujian nasional tanpa pengawas dapat dilaksanakan? Kapan bekerja tidak diawasi oleh mandor? Kapan ujian seleksi cpns dilaksanakan tanpa pengawas? Kapan penggunaan dana tidak perlu diaudit? Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin terlalu berlebihan karena hampir tidak mungkin dapat dijawab. Kalau dijawab,jJawabannya pun mungkin tidak jelas. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena selama ini memang pengawas ada di mana-mana. Mengapa masih ada pengawasan? Pengawasan muncul karena ada unsur yang sangat urgen, yaitu tidak adanya kepercayaan atau paling tidak ada rasa curiga. Pemerintah tidak percaya kalau siswa-siswa dapat jujur, tidak mencontek saat ujian. Mandor tidak percaya kalau pekerjanya bisa jujur, bisa bekerja dengan baik. Pemerintah tidak percaya kalau calon pegawai dapat jujur, tidak curang. Pemberi dana juga tidak percaya kalau pengguna dana dapat jujur menggunakan dana sesuai anggaran. Rupanya kita sudah lama dilanda ketidakpercayaan kepada orang lain. Kapan mulainya? I don't know. Pemerintah tidak percaya kepada rakyat. Demikian pula, rakyat tidak percaya kepada pemerintah, bahkan legislatifnya. Kalau begini memang ruwet jadinya. Kepercayaan menjadi sesuatu yang sangat mahal.
Dapat dibayangkan kalau ketidakpercayaan ini berlangsung di semua lini, semua jadi ruwet. Ketidakpercayaan dapat menjadi fenomena, tentunya bergilir menjadi budaya.
Biasanya orang yang mudah menaruh kepercayaan kepada orang lain, dapat dipastikan orang itu dapat dipercaya. Sebaliknya, orang yang selalu menaruh curiga dan tidak mudah percaya kepada orang lain dapat dipastikan bahwa orang itu tidak bisa dipercaya. Hukum kebalikan menjadi hal yang sangat lumrah.
Untuk terciptanya kepercayaan harus diawali dari dua unsur. Pemerintah harus percaya kepada rakyat. Sebaliknya, rakyat harus percaya kepada pemerintah. Keduanya harus bersama-sama menjaga kepercayaan itu.
Untuk menghilangkan krisis kepercayaan memang sesulit membalikkan telapak kaki. Kedua unsur harus berkomitmen, diawali dari hal yang kecil. Semuanya harus berorientasi ke alam sana. Artinya, untuk dapat terwujud kepercayaan perlu penguasaan faktor religius yang sesungguhnya. Selama unsur religius belum dipahami secara kafah, susah benar kepercayaan itu memasyarakat. Teori dan aplikasi dari unsur religius harus sejalan. Orang yang pandai ilmu agama, harus diimbangi dengan pengamalan secara konsisten. Tapi, kapan Indonesia akan begini? 100 tahun lagi, kali!
Kapan ujian nasional tanpa pengawas dapat dilaksanakan? Kapan bekerja tidak diawasi oleh mandor? Kapan ujian seleksi cpns dilaksanakan tanpa pengawas? Kapan penggunaan dana tidak perlu diaudit? Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin terlalu berlebihan karena hampir tidak mungkin dapat dijawab. Kalau dijawab,jJawabannya pun mungkin tidak jelas. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena selama ini memang pengawas ada di mana-mana. Mengapa masih ada pengawasan? Pengawasan muncul karena ada unsur yang sangat urgen, yaitu tidak adanya kepercayaan atau paling tidak ada rasa curiga. Pemerintah tidak percaya kalau siswa-siswa dapat jujur, tidak mencontek saat ujian. Mandor tidak percaya kalau pekerjanya bisa jujur, bisa bekerja dengan baik. Pemerintah tidak percaya kalau calon pegawai dapat jujur, tidak curang. Pemberi dana juga tidak percaya kalau pengguna dana dapat jujur menggunakan dana sesuai anggaran. Rupanya kita sudah lama dilanda ketidakpercayaan kepada orang lain. Kapan mulainya? I don't know. Pemerintah tidak percaya kepada rakyat. Demikian pula, rakyat tidak percaya kepada pemerintah, bahkan legislatifnya. Kalau begini memang ruwet jadinya. Kepercayaan menjadi sesuatu yang sangat mahal.
Dapat dibayangkan kalau ketidakpercayaan ini berlangsung di semua lini, semua jadi ruwet. Ketidakpercayaan dapat menjadi fenomena, tentunya bergilir menjadi budaya.
Biasanya orang yang mudah menaruh kepercayaan kepada orang lain, dapat dipastikan orang itu dapat dipercaya. Sebaliknya, orang yang selalu menaruh curiga dan tidak mudah percaya kepada orang lain dapat dipastikan bahwa orang itu tidak bisa dipercaya. Hukum kebalikan menjadi hal yang sangat lumrah.
Untuk terciptanya kepercayaan harus diawali dari dua unsur. Pemerintah harus percaya kepada rakyat. Sebaliknya, rakyat harus percaya kepada pemerintah. Keduanya harus bersama-sama menjaga kepercayaan itu.
Untuk menghilangkan krisis kepercayaan memang sesulit membalikkan telapak kaki. Kedua unsur harus berkomitmen, diawali dari hal yang kecil. Semuanya harus berorientasi ke alam sana. Artinya, untuk dapat terwujud kepercayaan perlu penguasaan faktor religius yang sesungguhnya. Selama unsur religius belum dipahami secara kafah, susah benar kepercayaan itu memasyarakat. Teori dan aplikasi dari unsur religius harus sejalan. Orang yang pandai ilmu agama, harus diimbangi dengan pengamalan secara konsisten. Tapi, kapan Indonesia akan begini? 100 tahun lagi, kali!
Minggu, 15 Februari 2009
Kekerasan vs Kekasaran
Pada suatu acara workshop yang serius, tiba-tiba memecahlah tawa. Yang sedang mengantuk menjadi terjaga. Yang sedang serius menjadi buyar. Apa pasalnya? Ternyata seorang peserta menyeletuk. Lalu celetukannya itu dijawab dengan ringan oleh fasilitator.
"Bapak/Ibu, contoh kasus yang sedang marak terjadi adalah poligami, pelecehan seksual, penganiayaan pembantu rumah tangga, dan ...." ungkap fasilitator. Belum selesai, tiba-tiba seorang peserta menyambungnya.
"Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Pak!" Celetuk seorang peserta. Sang fasilitator tersenyum-senyum. Para peserta workshop menjadi bingung. Lalu sang fasilitator berucap
"Bapak, yang Saudara sebutkan baru saja, itu harus terjadi. Kekerasan dalam rumah tangga harus terjadi. Kalau tidak terjadi, tidak mungkin ada Si Thole dan Si Nok." celetuk fasilitator sambil tersenyum.
"Ha...ha...ha...ha...ha" serentak meledaklah tawa. Memang ada beberapa peserta yang bingung, terutama wanita-wanita lajang. Mereka bertanya-tanya pada rekan di sampingnya.
"Yang tidak harus terjadi apa, Pak?" sambung peserta tadi.
"Kekasaran dalam rumah tangga."
Dialog ringan yang terjadi pada saat workshop di atas patut direnungkan. Kata kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memang dapat digunakan untuk ihwal di atas. Kekerasan berarti 1). perihal (yang bersifat, berciri) keras, 2). perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Jadi, kata kekerasan lebih mengarah kepada fisik. Sedangkan, KDRT secara defakto tidak hanya fisik, melainkan psikhis. Caci dan maki dari seorang suami kepada isteri atau anak-anaknya lebih melukai psikhis. Tamparan dan pukulan dari anggota keluarga yang satu kepada anggota keluarga yang lain dapat melukai fisik dan psikhis. Kalau yang dimaksud oleh KDRT itu perbuatan baik dengan kata-kata maupun perbuatan yang dapat melukai fisik maupun psikhis, menurut hemat kami kata yang tepat adalah "kekasaran" bukan "kekerasan". Kekasaran bisa dengan kata-kata, bisa juga dengan perbuatan fisik, sedangkan kekerasan hanya bisa dengan perbuatan fisik. Jadi, KDRT itu mestinya adalah Kekasaran dalam Rumah Tangga bukan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
"Bapak/Ibu, contoh kasus yang sedang marak terjadi adalah poligami, pelecehan seksual, penganiayaan pembantu rumah tangga, dan ...." ungkap fasilitator. Belum selesai, tiba-tiba seorang peserta menyambungnya.
"Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Pak!" Celetuk seorang peserta. Sang fasilitator tersenyum-senyum. Para peserta workshop menjadi bingung. Lalu sang fasilitator berucap
"Bapak, yang Saudara sebutkan baru saja, itu harus terjadi. Kekerasan dalam rumah tangga harus terjadi. Kalau tidak terjadi, tidak mungkin ada Si Thole dan Si Nok." celetuk fasilitator sambil tersenyum.
"Ha...ha...ha...ha...ha" serentak meledaklah tawa. Memang ada beberapa peserta yang bingung, terutama wanita-wanita lajang. Mereka bertanya-tanya pada rekan di sampingnya.
"Yang tidak harus terjadi apa, Pak?" sambung peserta tadi.
"Kekasaran dalam rumah tangga."
Dialog ringan yang terjadi pada saat workshop di atas patut direnungkan. Kata kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memang dapat digunakan untuk ihwal di atas. Kekerasan berarti 1). perihal (yang bersifat, berciri) keras, 2). perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Jadi, kata kekerasan lebih mengarah kepada fisik. Sedangkan, KDRT secara defakto tidak hanya fisik, melainkan psikhis. Caci dan maki dari seorang suami kepada isteri atau anak-anaknya lebih melukai psikhis. Tamparan dan pukulan dari anggota keluarga yang satu kepada anggota keluarga yang lain dapat melukai fisik dan psikhis. Kalau yang dimaksud oleh KDRT itu perbuatan baik dengan kata-kata maupun perbuatan yang dapat melukai fisik maupun psikhis, menurut hemat kami kata yang tepat adalah "kekasaran" bukan "kekerasan". Kekasaran bisa dengan kata-kata, bisa juga dengan perbuatan fisik, sedangkan kekerasan hanya bisa dengan perbuatan fisik. Jadi, KDRT itu mestinya adalah Kekasaran dalam Rumah Tangga bukan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Selasa, 10 Februari 2009
Hidup Itu Indah, Sayang
Kalau kita mendengarkan bahasa kehidupan dunia, sungguh kita akan takjub. Betapa tidak, kita sudah diatur sedemikian rupa teraturnya sehingga di akhir episode kita dapat menemukan hikmahnya. Biasanya di akhir episode itulah, kita baru sadar bahwa apa yang terjadi adalah sebuah jalan yang memang harus dilalui. Kita tidak usah mengatakan seandainya begini-begitu pasti akan begini-begitu. Begini-begitu adalah sebuah konsep manusia, sedangkan manusia itu tidaklah mengetahui apa-apa tentang sebuah peristiwa yang bakalan terjadi. Manusia hanya dapat berikhtiar dan memohon. Ketika ikhtiar dan permohonan belum sesuai yang diharapkan, kita hendaklah bersabar. Demikian pula, apabila yang diharapkan tidak sesuai dengan idealisme kita, hendaklah kita menerimanya dengan senang, jangan muncul sedikit pun kecewa, apalagi bersuudzon kepada Allah. Terimalah sesuatu dengan rasa syukur. Kalau memang sesuatu itu sangat diharapkan, apakah kita sudah maksimal dalam berikhtiar? Kalau sudah, bertawakallah. Yakinlah bahwa itu adalah yang terbaik untuk kita menurut Allah. Memang yang terbaik menurut kita terhadap sesuatu, belum tentu baik untuk kita menurut Allah. Prinsip yang paling baik adalah bahwa yang terbaik untuk kita hanyalah Allah yang tahu. Jika prinsip ini diterapkan, pasti hidup ini akan terasa indah. Indah dalam hal ini adalah keindahan untuk menerima bahasa dari Allah. Benar apa yang tertulis dalam filsafat Jawa kuno bahwa "urip iku saderma nglakoni". Jalanilah dengan enjoy hidup ini. Pastilah akan merasa hidup itu memang indah.
Sabtu, 07 Februari 2009
Kredit Pangkal Punya
Selama dasawarsa ini ada fenomena menarik yang patut dinalar. Bank-bank bersaing untuk mendapatkan kreditur, baik itu bank pemerintah maupun bank swasta, bahkan bank "ucek-ucek". Selain itu, dealer dan showroom pun tidak mau ketinggalan untuk mengejar nasabah atau kreditur. Mereka memberi kemudahan-kemudahan dan keringanan-keringanan. Mereka bersaing secara sehat, baik dengan suku bunga yang rendah maupun fasilitas yang menggiurkan. Semuanya dalam rangka mencari kreditur atau nasabah.
Kasus terakhir yang sangat menggiurkan adalah pengambilan kredit tanpa jaminan. Sebut saja "showroom kendaraan" misalnya, memberikan kredit kendaraan bermotor tanpa uang muka. Hanya bermodalkan fotokopi KTP, seseorang dapat membawa sepeda motor baru. Juga, ada kredit kendaraan khusus untuk pegawai negeri. Kredit ini tanpa "DP" serta bunganya sangat kecil. Beberapa bank menarik jasa administrasi yang agak tinggi untuk sebuak buku rekening. Artinya, masyarakat digiring untuk tidak mempunyai buku bank, artinya diharapkan ke buku kredit alias "hutang". Ada showroom yang mempersulit masyarakat jika hendak membeli kendaraan dengan cara tunai. Akan tetapi, bagi mereka yang membeli dengan cara kredit, dipermudah dan dipercepat. Fenomena apa ini? Orang punya duit malahan susah.
Fenomena kredit ini rupanya sudah mengakar dan membudaya. Kita akan susah kalau tidak kredit. Dunia pemberi kredit seolah menggiring masyarakat untuk terbelenggu dengan masalah ini. Apakah akan muncul pemeo baru, "kredit pangkal punya, tidak kredit tidak punya"?
Kasus terakhir yang sangat menggiurkan adalah pengambilan kredit tanpa jaminan. Sebut saja "showroom kendaraan" misalnya, memberikan kredit kendaraan bermotor tanpa uang muka. Hanya bermodalkan fotokopi KTP, seseorang dapat membawa sepeda motor baru. Juga, ada kredit kendaraan khusus untuk pegawai negeri. Kredit ini tanpa "DP" serta bunganya sangat kecil. Beberapa bank menarik jasa administrasi yang agak tinggi untuk sebuak buku rekening. Artinya, masyarakat digiring untuk tidak mempunyai buku bank, artinya diharapkan ke buku kredit alias "hutang". Ada showroom yang mempersulit masyarakat jika hendak membeli kendaraan dengan cara tunai. Akan tetapi, bagi mereka yang membeli dengan cara kredit, dipermudah dan dipercepat. Fenomena apa ini? Orang punya duit malahan susah.
Fenomena kredit ini rupanya sudah mengakar dan membudaya. Kita akan susah kalau tidak kredit. Dunia pemberi kredit seolah menggiring masyarakat untuk terbelenggu dengan masalah ini. Apakah akan muncul pemeo baru, "kredit pangkal punya, tidak kredit tidak punya"?
Rabu, 04 Februari 2009
BBM dan Logika Ekonomi
Menjelang akhir pemerintahan SBY-Kala, banyak kebijakan-kebijakan yang memihak rakyat diluncurkan. Satu yang paling populer adalah penurunan harga BBM jenis premium dan solar. Tidak tangung-tangung, frekuensinya sampai 3 kali. Kebijakan ini diambil tentunya bukan karena "ada udang di balik batu" menjelang Pemilu, tetapi karena mengikuti perkembangan harga minyak dunia. Itu yang pasti.
Kalau ditelusuri sampai pada masa awal pemerintahan SBY-Kala, tentunya kita belum lupa akan kebijakan yang tidak populer, yaitu menaikkan harga BBM. Pada masa itu BBM melambung tidak tanggung-tanggung. Masyarakat menjerit, protes dan demontrasi ada di mana-mana. Akibat dari kebijakan itu, harga kebutuhan pokok dan lain-lain ikut melambung, padahal pemerintah belum mengeluarkan aturan kenaikan. Masyarakat aktif menaikkan sendiri harga pasar segala kebutuhan, pasar susah dikontrol.Akan tetapi, itulah logika di negeri kita. Sejak zaman baheula, jika harga BBM naik, harga kebutuhan lainnya pun pasti naik, itu lazim.
Akan tetapi, logika itu menjadi tidak berlogika (anlogika) ketika pemerintah menurunkan harga BBM. Setelah harga BBM turun mestinya secara logika harga-harga kebutuhan lainnya termasuk jasa transportasi turun. Kenyataannya, tidak demikian yang terjadi. Setelah harga BBM turun, harga kebutuhan pokok dan jasa transportasi tidak turun. Mereka bermalas-malas untuk menurunkan tarif dan harga. Mengapa?
Kalau ditelusuri sampai pada masa awal pemerintahan SBY-Kala, tentunya kita belum lupa akan kebijakan yang tidak populer, yaitu menaikkan harga BBM. Pada masa itu BBM melambung tidak tanggung-tanggung. Masyarakat menjerit, protes dan demontrasi ada di mana-mana. Akibat dari kebijakan itu, harga kebutuhan pokok dan lain-lain ikut melambung, padahal pemerintah belum mengeluarkan aturan kenaikan. Masyarakat aktif menaikkan sendiri harga pasar segala kebutuhan, pasar susah dikontrol.Akan tetapi, itulah logika di negeri kita. Sejak zaman baheula, jika harga BBM naik, harga kebutuhan lainnya pun pasti naik, itu lazim.
Akan tetapi, logika itu menjadi tidak berlogika (anlogika) ketika pemerintah menurunkan harga BBM. Setelah harga BBM turun mestinya secara logika harga-harga kebutuhan lainnya termasuk jasa transportasi turun. Kenyataannya, tidak demikian yang terjadi. Setelah harga BBM turun, harga kebutuhan pokok dan jasa transportasi tidak turun. Mereka bermalas-malas untuk menurunkan tarif dan harga. Mengapa?
Langganan:
Postingan (Atom)
FITUR KEBAHASAAN PADA GENRE TEKS
Kaidah Kebahasaan pada Pembelajaran Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA diarahkan pada pengembangan ...
-
Syair Sumanto (Sang Kanibal) Kisah tragis menggegerkan dunia Dari negeri Purbalingga Negeri yang tenteram dan jaya Tambah menjad...
-
EKSPLORASI, ELABORASI, DAN KONFIRMASI DALAM RPP DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN oleh Joko Rusmanto A. Definisi Menurut Kamus Besar Bahasa Ind...
-
Jangan Lupakan Sejarah Joko Rusmanto Masih ingatkah ketika kita dijewer telinganya, Suatu malam yang tak ada curiga, Tujuh perwi...