Kamis, 14 Oktober 2010

Esai

Idul fitri dan Hijrah Negeri
Oleh Joko Rusmanto

Ramadan tahun ini telah berakhir. Pestapora kemenangan berlangsung di sepanjang negeri. Kemenangan atas pertarungan dengan hawa nafsu yang selama ini telah membelenggu dan mendominasi dalam diri manusia. Klimaks dari sebuah pertarungan hawa nafsu adalah kesadaran tertinggi akan religiusitas, pengakuan dosa baik secara horizontal maupun vertikal. Ending dari pertarungan ini adalah seperti telah difirmankan oleh Allah dalam QS Al Baqarah: 183, yaitu takwa. Inilah produk perang hawa nafsu yang dijalani selama sebulan.
Makna takwa secara lahiriah adalah keinsafan yang diikuti kepatuhan dan ketaatan dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Jika kita kritisi, makna takwa sungguh luar biasa. Orang yang dikategorikan takwa adalah mereka yang telah insaf dan sadar akan perbuatan negatifnya dan memanifestasikannya dalam bentuk kepatuhan dan ketaatan akan perintah dan larangan Allah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa takwa sebagaimana disyariatkan sebagai hasil dari puasa Ramadan, merupakan orientasi sebuah hijrah. Namun, yang menggelitik hati kita, apakah predikat takwa yang disandang oleh para “saumers” dapat mengentaskan atau menghijrahkan negeri ini dari kemiskinan ketakwaan?
Secara matematis
Saat ini mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, secara mayoritas pula umat Islam Indonesia menjalankan puasa. Jika hitungan 80% menjadi dasar patokan, maka pada saat lebaran 80% umat Islam Indonesia telah memperoleh sertifikat takwa. Kedelapan puluh persen umat yang mendapat sertifikat ini menyebar di pelbagai lini kehidupan, ada di sebagian besar anggota DPR, ada di sebagian besar birokrat, ada di sebagian besar praktisi hukum, ada di sebagian pelaku usaha dan perekonomian, ada di sebagian besar pendidik, dan ada di sebagian besar pelayan masyarakat lainnya.
Wah, sungguh luar biasa! Pascaramadan bendera takwa berkibar di mana-mana, di sebagian besar wilayah Indonesia. Orang-orang kembali fitri. Lembaran baru dalam kehidupan sudah dicetak, tinggal diisi dengan pena masing-masing. Fenomena menarik ini sebenarnya dapat dijadikan modal dasar bagi Indonesia untuk lepas dari jerat-jerat kapitalisme, egoisme, hedonisme yang menjadi biang keladi krisis mental. Jika power takwa ini dapat dimanajemen dan dimanfaatkan efeknya dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, kejadian-kejadian konyol yang menimpa negeri ini tidak akan terulang, isya Allah.
Memang, kalau dikomtemplasikan dengan sungguh-sungguh seharusnya negeri ini tidak akan mengalami dekadensi dan degradasi seperti sekarang karena momentum fitri berlangsung secara bersinambung. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Koruptor bertambah, kejahatan berlipat, krisis mental seperti yang disponsori “dunia Tari dan dunia Maya” mewabah. Keimanan dan ketakwaan anak-anak bangsa menjadi rendah.
Iman dan takwa fluktuatif
Pascaramadan yang dirangkai dengan syawalan memang hanya berlangsung beberapa hari saja. Setelah itu, apakah takwa dan kesalehan sosial masyarakat kita akan terus berlangsung. Inilah masalahnya, iman dan takwa manusia dalam keadaan fluktuatif. Iman dan takwa kita seperti biduk yang dibawa mengarungi samudera. Iman dan takwa akan menuai badai dan ombak kehidupan duniawi sehingga dapat hancur atau pun tegar bertahan. Akhirnya, untuk bertahan dalam ketakwaan kembali bergantung pada individu masing-masing.
Sertifikat takwa yang telah kita peroleh harus tetap melekat dengan segala konsekuensinya ia harus dipertahankan dari sisi internal berupa nawaitu dan iktikad baik. Dari sisi eksternal berupa usaha pemupukan takwa dari berbagai unsur, baik secara preventif maupun kuratif. Secara preventif, para ulama yang berfrekuensi tinggi dalam syiar, tetaplah semangat bersyiar lewat berbagai media untuk menangkal virus-virus yang siap menggerogoti ketakwaan umat. Secara kuratif, jaksa dan aparat hukum yang bertakwa, adil, dan bijaksana, harus selalu bertindak tegas tanpa takut dan kenal lelah untuk memusnahkan virus-virus yang mematikan.
Akhirnya, kembalinya kefitrian jiwa manusia harus dibarengi iktikad dan upaya sungguh-sungguh dari masing-masing individu agar dapat menghijrahkan negeri ini dari keterpurukan. Walaupun tidak kafah, paling tidak momentum lebaran kali ini dapat meminimalkan keterpurukan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Anda berkomentar! Komentar Anda bermanfaat bagi kami. Komentar Anda tidak mengurangi apa pun bagi Anda.

FITUR KEBAHASAAN PADA GENRE TEKS

Kaidah Kebahasaan pada Pembelajaran Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA diarahkan pada pengembangan ...