Kamis, 14 Oktober 2010

Cerpen

Ahli Waris
Joko Rusmanto

Tidak seperti biasanya, pukul delapan pagi Marwati baru membuka kedainya. Biasanya, pukul setengah tujuh tungku sudah memulai membara dan ketel hitam legam sudah nangkring di atasnya. Itu semua dikarenakan sudah dua hari ini Ninik demam dan muntah-muntah, sehingga tadi pagi Marwati menunda keberangkatannya ke kedai. Ia terlebih dahulu menggendongnya agar Ninik tenang dan tidak rewel.. Ninik memang sering panas secara tiba-tiba. Kadang setelah panas ia muntah-muntah, tetapi setelah itu badannya akan normal kembali dan esoknya sudah bisa berlarian dengan teman-temannya. Akan tetapi, hari ini lain. Ninik masih demam. Sebenarnya Marwati berniat untuk libur satu hari ini sampai demam Ninik berkurang. Akan tetapi, ia bertimbang lain. Jika ia tak membuka kedai, hari itu ia tidak akan makan dan tak bisa melaksanakan niatnya untuk membawa Ninik ke mantri. Suaminya sedang cuti panjang karena di pabrik sedang kehabisan bahan baku, dan stok barang sedang menumpuk. Sudah hampir dua minggu suaminya tidak mendapat upah.
Matahari bersinar dengan cerahnya, tapi di atas kedai itu masih tampak redup. Pohon asem jawa yang cukup besar telah meredupkan suasana di sekitar kedai. Hanya beberapa bagian saja tampak terang karena cahaya matahari berhasil menerobos celah-celah dedaunan pohon asem dan sinarnya jatuh di atap genteng tua. Dari celah-celah genteng di bagian pojok kedai muncullah kepulan-kepulan asap dari tungku tua di kedai itu. Asapnya mengepul kecil-kecil ke atas lalu berlingkar-lingkar dan menghilang di antara ranting-ranting pohon asem. Marwati mulai sibuk menata meja sementara tungku menyala membakar ketel. Pintu dan jendela-jendela kecil sudah dibuka. Tangannya begitu cekatan, dalam satu waktu ia bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan. Ketika air di ketel mendidih, adonan tepung dan bahan-bahan gorengan telah siap menanti giliran. Memang ia sudah terbiasa seperti itu.
Tidak terlalu lama di meja sudah tertata beberapa piring berisi gorengan. Masing-masing piring masih mengeluarkan uap panas. Uapnya menuju ke atas mengepul-ngepul beriringan. Aroma pisang kapok yang telah digoreng dan dibalut tepung merayap di sekitar kedai. Marwati mendadak menghentikan penggorengan yang tinggal beberapa adonan lagi karena dua orang suami istri tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu. Marwati merasa aneh karena ia tidak mendengar deru mesin mobil hitam mengkilap yang sudah nongkrong di depan kedai. Ia juga tidak mendengar pintu mobil itu ditutup. Padahal, biasanya pintu mobil yang berhenti di situ kalau ditutup berbunyi “bleg”. Ia betul-betul terkejut.
“Monggo, Pak, Bu, silakan masuk!” sambut Marwati sambil membersihkan tangannya dengan selembar lap yang tergantung di dekat pintu belakang. Suami istri itu tersenyum lalu duduk bersebelahan. Marwati maju selangkah, tangannya dilipat di depan perutnya.
“Minumnya teh atau kopi, ya Bu?” tanya Marwati sambil tersenyum.
“Bapak kopi, dan saya teh saja. Jangan terlalu manis ya, Mba?” jawab tamu perempuan dengan sangat ramah. Marwati manggangguk, lalu ia membalikkan badannya dan berjalan ke belakang.
“Pak, apa ngga ada rumah makan di sekitar sini? Kok ke sini!” tanya isteri sambil matanya berkelana ke sekeliling ruang kedai.
“Ya, ada!” jawab sang suami.
“Lho, kok!”
“Sudahlah, Bu! Pokoknya saya punya alasan. Kedai ini yang sering kebayang di pikiranku selama ini. Kedai ini juga yang selalu mengganggu khusukku dalam berdoa. Lihat, Bu, sudah hampir dua puluh tahun, tapi keadaannya masih seperti dulu saja. Bedanya sedikit saja, dulu tungkunya di sebelah kiri sana. Sekarang, sudah dipindah ke belakang dekat bibir dam. Sepertinya tiada yang berubah, Bu. Memang sekarang sudah terkesan lapuk. Inilah kantinku dulu saat SMA! Kosku di sebelah sana, belakang Panti Asuhan Istiqomah.” jawab suami sambil mengalihkan perhatian isterinya. Mata lelaki itu berkeliling sepanjang dinding dan atap. Lalu, kedua matanya berhenti pada wajah cantik. Lelaki itu tersenyum.
“Jangan-jangan Bapak lupa! Bukan yang ini kali, Pak!” bisik isteri sambil meyakinkan pikiran suaminya itu.
“Tidak, Bu! Aku tidak salah. Wong tanda yang penting adalah pohon asem itu. Masih di sudut sana, hanya sekarang sudah jauh lebih besar dibanding dulu.” jawab suami penuh percaya diri.
Obrolan mereka berdua mendadak berhenti karena Marwati tiba-tiba sudah di depan mata sedang meletakkan dua gelas minuman. Selesai meletakkan dua gelas minuman itu ia hendak kembali ke tungku untuk menyelesaikan menggoreng adonan yang tersisa. Begitu membalikkan badannya, Marwati agak terkejut karena tamu lelaki itu menanyai.
“Mba, ini warungnya Bu Hadi, kan?” tanya tamu lelaki dengan tiba-tiba. Lalu Marwati membatalkan niatnya ke belakang. Ia membalikkan lagi tubuhnya ke arah tamu itu.
“Betul, Pak!” jawab Marwati serius. Matanya menatap ke arah dua tamunya seperti hendak menunggu pertanyaan berikutnya.
“Mba ini siapanya Bu Hadi ya?” lanjut tamu lelaki itu seperti mendikte.
“Saya anaknya, Pak! Marwati.” Jawab Marwati polos.
“Yang dulu dipanggil Wati!” tebak tamu lelaki itu.
“Ya, betul!”
“Dulu waktu kamu belum sekolah, selalu diajak Bu Hadi ke sini lho!.”
“Lho, Bapak kok tahu!”
“Ya jelas! Saya kan langganan setia Bu Hadi. Ibu sehat saja, Mba?”
Marwati terdiam sejenak, ia berpikir dan menata jawaban yang akan diberikan kepada tamu lelaki itu. Wajahnya seperti ragu-ragu.
“Anu, Pak ...!” jawab Marwati dengan keragu-raguan.
“Anu apa, Mba?” kejar tamu lelaki
“Bu Hadi sudah meninggal setahun setelah kematian Pak Hadi, kira-kira empat tahun yang lalu.” jawab Marwati dengan tenang.
Suami isteri itu agak terkejut, ditatapnya mata Marwati dengan sungguh-sungguh. Ditunggunya cerita dari Marwati. Marwati berjalan ke sudut menuju sebuah kursi sederhana, lalu ia duduk. Mata suami isteri itu mengikuti perlahan.
“Ibu meninggalkan kami secara tiba-tiba, tanpa sakit atau tanda-tanda yang lain. Ketika itu ibu mau ke kedai ini, tetapi baru keluar pintu ia terpelanting lalu jatuh dan ...langsung meninggal.” lanjut Marwati dengan ekspresi sedih. Suami isteri itu terdiam dalam duka. Sang suami meraih kopi yang masih separoh. Demikian pula sang isteri.
Setelah bercerita meninggalnya ibu, Marwati bergegas ke belakang. Suami isteri itu melanjutkan menikmati minuman hangat dan gorengan yang masih mengepulkan uap panas. Sang suami itu seperti terbenam dalam lamunan, entah apa yang sedang dipikirkan. Pisang goreng yang ia genggam tidak segera digigitnya, matanya melayang ke dinding-dinding kedai atau ke ranting-ranting pohon asem melalui celah-celah pada dinding kedai.
“Pak, tadi Bapak ngomong apa sih?” tanya isteri memecah lamunan.
“Apa, Bu?” jawab suami kaget.
“Ah, Bapak ada orang ngomong ngga didengarkan!” jawab isteri ketus.
“Memang aku ngga nangkap, apa sih?” aku suami.
“Itu tadi lho, Bapak katanya selalu terganggu dan terngiang-ngiang oleh kantin ini. Ada kenangan apa sih, Pak?” tanya isteri
“Ngga ada apa-apa, hanya teringat saja kok!” jawab suami
“Pak, kalau memang ada apa-apa dengan kantin ini, langsung saja selesaikan sekarang!” usul isteri kepada suaminya. Sang suami tersenyum simpul sambil matanya sedikit mengerling kepada sang isteri.
“Ya, sekarang! Se-ka-li-an!”
Dalam benak suami itu muncullah keraguan-keraguan. “Kalau aku ngomong apa adanya, malu aku. Tapi, kalau tidak, nanti aku terganggu terus oleh kantin ini dan dosa semakin berbunga-berbunga laksana uang dalam deposito.” demikan kata hati suami. Ia kembali bertimbang-timbang. Tanpa sadar setan telah mengintainya dan membujuk umatnya untuk selalu berbuat dosa atau selalu mengajak manusia untuk selalu berkubang dalam dosa. Pertarungan antara raja dosa dan raja kebaikan terjadi di benak suami. Setelah pergolakan hebat itu, akhirnya raja kebaikan merasa unggul. Suami sudah memutuskan satu tekad untuk menyelesaikan semuannya, sekarang.
Matahari baru sepenggalah, sinarnya benderang, tetapi di kedai itu masih redup-redup. Daun-daun kecil pohon asem telah menghadang sinar matahari pagi. Sang suami bangkit dari duduknya, lalu ia melangkah perlahan menuju pintu belakang hendak menemui Marwati yang sedang asyik mempersiapkan penggorengan berikutnya.
“Mba, sudah!” kata suami kepada Marwati.
“Lho masih pagi kok, Pak!” sambut Marwati.
“Semuanya berapa?”
“Tambahnya apa saja, Pak?”
“Pisang goreng satu, ubi satu terus ....” jelas suami. Ia tidak melanjutkan rinciannya. Tetapi menanyakan kepada isterinya.
“Bu, kamu tambah apa?” tanya suami sambil merogoh dompet di saku belakang celananya.
“Aku, tambah pisang goreng satu!” jawab isteri.
“Empat setengah, Pak!” jawab Marwati.
Mendengar itu, suami langsung membuka dompet dan segera mengambil selembar uang lima ribuan. Setelah uang lima ribuan diberikan kepada Marwati, suami itu menarik tiga lembar uang ratusan ribu dari dompet berwarna cokelat tua. Kemudian, suami itu menyodorkannya kepada Marwati.
“Lho, ini untuk apa, Pak! Yang ini malahan masih sisa lima ratus!” tolak Marwati kepada suami isteri itu.
“Mba, tolong diterima uang ini, halal kok!” bujuk lelaki itu sambil meyakinkan.
“Tidak usah, Pak! Saya tidak mau diberi dengan cuma-cuma. Saya tidak mau!” jawab Marwati sambil menyembunyikan kedua tangannya ke belakang.
“Oke, begini, Mba, saya ke sini pertama ingin membayar hutangku pada ibumu. Tetapi, karena ibumu sudah meninggal, maka saya serahkan uang pelunas ini pada Mba Marwati. Tolong ya, Mba diterima. Ini masalah hutang piutang, harus diselesaikan. Kamu kan ahli warisnya, jadi kamu harus menerima ini.”
Marwati masih dalam kebimbangan untuk menerima atau tidak uang tiga ratus ribu dari lelaki itu. Matanya nanar, pikirannya bertimbang-timbang. Kedua tangannya masih disembunyikan di bagian belakang badannya. Melihat kebimbangan dalam diri Marwati, isteri lelaki itu mendekatinya dan meraih tangannya. Ia mencoba membimbing tangan Marwati untuk menerima uang itu. Marwati hanya menuruti saja.
“Terimalah, Mba! Suamiku betul-betul berhutang pada ibumu dulu dan maafkan kami baru bisa melunasinya hari ini.” jelas isteri lelaki itu sambil mempertemukan tangan suaminya denga tangan Marwati.
“Pokoknya, Mba Marwati tidak usah macam-macam. Itu hak Mba Marwati sebagai ahli waris. Yang penting Mba Marwati menjadi saksi bahwa saya sudah melunasi hutang pada ibu, itu saja!” tambah lelaki itu.
Tangan kanan Marwati menggenggam uang tiga ratus ribu. Perlahan ia melepas keraguan akan hal itu. Dipindahkannya uang itu dari tangan kanannya ke tangan kirinya. Lalu ia menyalami suami isteri tamunya itu, dari bibirnya mengembanglah senyum. Suami isteri itu pun tersenyum dan meninggalkan Marwati.
Mobil hitam itu melesat begitu cepatnya, tanpa suara deru mesin atau suara pintu ditutup. Mata Marwati mengikuti kepergian mobil dan sepasang suami isteri itu hingga mereka hilang ditelan bukit kecil di seberang sana. Setelah mobil hitam dan suami isteri itu betul-betul menghilang, Marwati masuk ke kedainya dengan gugup, lalu ia mengemasi dagangannya dan menutup kedainya. Ia segera pulang ke rumah untuk memenuhi niatnya membawa Ninik ke puskesmas.
Februari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Anda berkomentar! Komentar Anda bermanfaat bagi kami. Komentar Anda tidak mengurangi apa pun bagi Anda.

FITUR KEBAHASAAN PADA GENRE TEKS

Kaidah Kebahasaan pada Pembelajaran Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA diarahkan pada pengembangan ...